Saya bekerja di koran selama 10 tahun. Dimulai sejak 30 September 2004 sampai dengan 16 Desember 2014.Â
Mulai kerja dari korektor bahasa selama enam tahun kemudian "naik pangkat" ke asisten redaktur berita politik, nasional, dan internasional. Sempat pula didapuk di bagian online urus edisi perdana sampai dengan ditempatkan di edisi Minggu.
Selama itu pula banyak melihat kasatmata betapa iklan politik di media massa koran, sekarang disebut konvensional, sangat banyak. Seorang teman yang urus bahan kampanye seorang calon kepala daerah, tahun 2010 cair besar.Â
Karena urus iklan, ia dapat banyak. Dari klien, nilai sudah dinaikkan. Di media massa lobi lagi supaya dapat harga miring. Sudah dapat harga miring, masih minta pula persenan. Walhasil sana sini masuk.
Nominal iklan setengah halaman masa itu di koran minimal delapan juta rupiah. Di media massa lain mungkin bisa lebih murah.Â
Tapi masa-masa itu, koran memang cair besar gara-gara politikus pasang iklan. Kadang besar sampai penuh satu halaman. Dan itu tidak sekali pasang saja. Kadang beberapa kali.
Kalau sudah beberapa kali, si pemasang iklan minta korting lagi dan dibikin paket saja. Jelas lebih banyak duit yang ditangguk. Demikian pula manajemen koran senang dapat iklan luar biasa.
Hampir semua koran bahkan tabloid pekanan lumayan sering dapat spot iklan dari partai politik, dari politikus secara pribadi, juga dari penyelenggara negara.
Barulah pada masa belakangan ini, iklan politik tak bisa semacam itu lagi. Apalagi sudah masuk masa kampanye.Â
Yang saya ingat, kala sudah pindah kerja ke sebuah media online kecil, pemilihan kepala daerah tahun 2015, mulai aturan baru. Yang berhak pasang iklan, pasang banner, pasang alat kampanye, pasang peraga kampanye hanya KPU.Â
Jadinya adil. Semua pasangan calon dapat porsi sama. Sudah ada larangan selama masa kampanye resmi tak boleh pasangan calon atau partai politik pasang iklan di media massa. Termasuk media cetak.
Saya mencatat, tahun 2015 itulah titik balik iklan di media massa konvensional. Maksudnya, sudah ada perubahan signifikan.Â
Iklan kini tak lagi jor-joran di media massa koran. Surut sesurut-surutnya.Â
Apalagi media massa daring berupa web, situs, portal berita makin marak. Terlebih sekarang, entah sudah berapa juta web yang ada di Indonesia.
Di pemerintah provinsi saja kabarnya sudah lima ratusan web yang mengajukan kerja sama kemediaan dengan kominfo. Luar biasa. Jatah media cetak makin tergerus.Â
Wajar kalau banyak koran yang mati. Iklan meredup, karyawan dipangkas.Â
Eksemplar berkurang. Tinggal tunggu di tubir jurang. Bahasa halusnya senjakala.
Kesimpulan hal ini bisa terjadi.
Kesatu, koran sudah ditinggalkan
Banyak sudah studi serius atau tulisan opini dan esai yang menulis ini. Sekarang ini sudah bukan masanya lagi koran. Koran sudah bisa dibilang mati.Â
Tak ada yang lagi yang membaca. Saya tanya sama mahasiswa yang saya asuh mata kuliah jurnalismenya, apakah pernah baca koran. Semua anak generasi z ini bilang tak pernah.
Koran basi jika dibandingkan informasi yang bertebaran sejak pagi sampai pagi lagi di media massa daring. Apalagi di media sosial. Jelas makin terjerembap sedalam-dalamnya.
Karena koran sudah mati, masak iya politikus masih mau pasang iklan atau titip berita iklan berbayar alias advertorial di koran. Mungkin masih ada. Namun, jumlahnya sedikit, nominalnya kecil.Â
Sudah begitu, masih ada juga koran yang besar kepala. Masih bertahan dengan harga tinggi.
Tahun lalu ada kegiatan bakal calon presiden. Tim humasnya kasih tawaran harga di angka delapan juta rupiah untuk diberitakan halaman satu.Â
Satu koran menolak karena merasa kemurahan. Reporter dan bagian iklannya senewen karena manajemen tolak angka sedemikian besar.Â
Masih syukur orang mau pasang berita berbayar di koran. Ini malah ada kesempatan justru ditolak.
Tim humas calon bergerak ke media massa koran lain. Dengan harga yang lebih murah mereka bisa pasang di halaman satu. Media besar kepala tadi ya gigit jari.Â
Sudah tahu susah cari duit iklan. Begitu ada yang mau pasang malah ditanggapi besar kepala.
Kedua, media massa daring jadi pilihan
Sekarang yang jadi pilihan adalah media massa daring. Setahun belakangan ada bakal calon presiden yang rajin kasih rilis berbayar kepada media massa daring.Â
Tentu tim humas atau sim sukses yang mengurusnya. Bujetnya untuk satu berita juga lumayan. Tim sukses rupanya melihat juga performa dari web yang hendak diajak kerja sama.
Ini lebih memungkinkan ketimbang mereka pasang di koran. Andaipun koran masih ada, hakulyakin biayanya tak sehemat di media massa daring.Â
Taruhlah misalnya ada duit Rp10 juta. Ketimbang ditaruh di satu atau dua koran dengan eksemplar ribuan, masih mending pasang di media massa daring.Â
Jumlah media massa daring yang bisa diajak kerja sama mungkin bisa 10. Itu jauh lebih efisien, lebih efektif juga, dan lebih terlihat jumlah sasaran pembacanya.
Setidaknya ada angka yang bisa dijadikan patokah untuk melhat seberapa jauh berita itu dibaca publik. Makin ke sini para kandidat anggota legislatif, bakal calon presiden, dan lainnya juga lebih menyukai ke media massa arus utama berbasis daring.
Iklan semacam ini memang lebih baik dipasang sekarang sebagai bentuk sosialisasi. Tidak ada narasi atau ajakan memilih dan sebagainya. Berita lebih pada aktivitas bakal calon sekarang dan isu-isu yang berkenaan dengan publik.
Masalahnya adalah jika sudah masuk pada masa kampanye resmi, pasti akan diatur khusus oleh KPU. Meski media massa juga piawai memainkan isu dan tetap dapat duit kala musim kampanye, tapi lebih baik dan lebih aman gerak dari sekarang.
Ketiga, masif sosialisasi di media sosial
Setiap politikus atau partai pasti punya media sosial. Kebanyakan tentu saja dikelola tim khusus. Sarana itu bagus digunakan. Bukan saja sebagai alat sosialisasi diri melainkan juga wujud akuntabilitas kepada publik.
Namanya saja media sosial, pasti tak lepas dari apa yang diskeptiskan orang yakni pencitraan. Wajar jika ada anggapan demikian.Â
Dan andaipun memang untuk pencitraan, salahnya di mana? Tidak ada, kan? Itulah fungsi media sosial.
Mungkin ada juga nanti politikus yang bikin akun di Kompasiana dan saban hari mengunggah rilis atau opininya terhadap sesuatu hal. Tentu sah-sah saja sepanjang memang ada nilai publik yang hendak disampaikan.
Publik bisa menilai juga seberapa menarik pesan yang disampaikan politikus, partai politik, dan para bakal capres di media sosial. Dari situ publik bisa merespons dengan memberikan komentar.Â
Silakan saja. Mau kritis juga silakan saja. Itulah fungsi media sosial menghadirkan kemerdekaan dalam berpendapat.
Karena sosialisasi di media sosial ini juga dirasa efektif, walhasil bujet iklan di media massa konvensional makin tergerus. Nyaris tak terbaca lagi ada pesan para kandidat di koran atau tabloid atau majalah.Â
Tempo yang mapan saja sudah bermetamorfosis ke dalam digital. Dua tahun belakangan saya berlangganan Tempo, baik majalah maupun korannya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib media massa arus utama secara umum pada musim politik ini? Adakah kebagian kue juga? Atau malah sama sekali tidak kebagian?
Jika pertanyaan itu diarahkan kepada saya yang sedang mengelola media massa daring dengan sumber daya superterbatas, jawabannya masih dapat.Â
Seperti saya bilang, setahun belakangan lancar terus titipan berita berbayar dari bakal calon capres. Setahu saya, media cetak tidak ada yang dapat. Semuanya media massa arus utama berbasis daring.
Untuk ruang lingkup lokal, juga masih dapat. Ini bergantung kepada kepiawaian kita memberikan layanan maksimal kepada klien para politikus itu.Â
Mereka hendak yang seperti apa? Ada yang cukup dengan pemberitaan. Ada juga yang ingin pemberitaan itu dibaca sekian ribu dan di daerah pemilihannya.Â
Ada juga yang minta dibantu penyebaran di media sosial berbayar atau beriklan. Ada pula yang ingin informasi berita itu bisa mengarahkan pemilih untuk tahu dan kemudian di hari H mencoblosnya.
Segala sesuatu masih bisa dimungkinkan. Tinggal pengelola media massa memberikan arahan bahwa tetap ada fungsi media massa untuk memberikan kritik.Â
Termasuk juga kepada para politikus dan bakal capres yang sepakat bekerja sama. Ini penting disampaikan supaya klien juga paham bahwa media massa itu punya pakem atau langgam tersendiri.Â
Urusan publik dinomorsatukan. Maka itu, kepada klien juga disampaikan batas-batasnya sehingga kedua pihak sama-sama enak dalam bekerja sama.
Yang jelas, era iklan di koran bisa dikatakan sudah habis. Buat apa pasang iklan di koran dengan harga mahal tapi yang membaca tidak ada.Â
Tidak ada dampak langsung jika bersosialisasi di koran. Apalagi kalau mau menyasar generasi milenial, generasi z, dan sekarang generasi zilenial.
Yang utama dari media massa adalah pelayanan yang prima. Serta kejujuran dalam mengelola kerja sama itu.Â
Soal kejujuran ini, ada sebuah narasi pendek di buku biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita.
Kata dia, "Meski wajah kita jelek, kalau kita jujur, orang percaya."Â
Saya ingin menggubahnya sedikit. "Meski wajah kita jelek, kalau kita jujur orang percaya. Apalagi kita ganteng."Â
Sekian dan terima kasih. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H