Tak ada yang lagi yang membaca. Saya tanya sama mahasiswa yang saya asuh mata kuliah jurnalismenya, apakah pernah baca koran. Semua anak generasi z ini bilang tak pernah.
Koran basi jika dibandingkan informasi yang bertebaran sejak pagi sampai pagi lagi di media massa daring. Apalagi di media sosial. Jelas makin terjerembap sedalam-dalamnya.
Karena koran sudah mati, masak iya politikus masih mau pasang iklan atau titip berita iklan berbayar alias advertorial di koran. Mungkin masih ada. Namun, jumlahnya sedikit, nominalnya kecil.Â
Sudah begitu, masih ada juga koran yang besar kepala. Masih bertahan dengan harga tinggi.
Tahun lalu ada kegiatan bakal calon presiden. Tim humasnya kasih tawaran harga di angka delapan juta rupiah untuk diberitakan halaman satu.Â
Satu koran menolak karena merasa kemurahan. Reporter dan bagian iklannya senewen karena manajemen tolak angka sedemikian besar.Â
Masih syukur orang mau pasang berita berbayar di koran. Ini malah ada kesempatan justru ditolak.
Tim humas calon bergerak ke media massa koran lain. Dengan harga yang lebih murah mereka bisa pasang di halaman satu. Media besar kepala tadi ya gigit jari.Â
Sudah tahu susah cari duit iklan. Begitu ada yang mau pasang malah ditanggapi besar kepala.
Kedua, media massa daring jadi pilihan
Sekarang yang jadi pilihan adalah media massa daring. Setahun belakangan ada bakal calon presiden yang rajin kasih rilis berbayar kepada media massa daring.Â