Sebab, yang ia lakukan tak lazim dilakukan anak seusianya. Meski fiksi, cerita Roy ini melegenda dan di zaman saya sekolah jadi patron anak muda kala itu.
Rasanya sip bener kalau sudah di gunung, merokok, kumpul dengan sesama penyuka jalan-jalan, dan lainnya, serta abai dengan sekolah.
Namun, ini semua nakal dalam batasan tertentu. Ia bukan kejahatan yang mesti diurus oleh pihak keamanan negara.
Kadang pihak sekolah juga memberikan pesan bahwa tugas mendidik anak tidak sekadar ranah sekolah. Sekolah juga ingin orangtua punya peran.Â
Maknanya, kalau ada anak nakal, jangan suruh pihak sekolah jadi pemadam kebakaran. Orangtua juga punya peran penting.
Saya setuju dengan ini. Namun, frasa itu tidak serta merta juga melepaskan tanggung jawab sekolah untuk ikut mendidik anak.Â
Orangtua menyekolahkan anak dengan harapan anaknya bertambah baik, bertambah pandai, bertambah profil pelajar Pancasilanya, dan lebih takzim kepada orangtua.
Maka itu, sekolah punya kompetensi tersendiri untuk mewujudkan harapan orangtua. Kalau semuanya dikembalikan lagi kepada pihak orangtua, buat apa mereka menyekolahkan anak ke sekolah?
Maka itu, tiap guru, wabilkhusus wali kelas, mesti punya data yang utuh mengenai setiap anak di bawah bimbingannya. Termasuk berkoordinasi dengan pihak guru bimbingan konseling (BK).
Tiap anak pasti punya keunggulan. Ada mungkin siswa yang orang tahunya yang jelek-jeleknya saja. Tapi ada satu humanis anak nakal itu yang tidak diketahui banyak orang.Â
Maka, orangtua mesti komunikasi intensif dengan sekolah untuk menjelaskan kondisi anaknya. Jadi, sekolah punya penyikapan berbeda sehingga unsur keunggulan siswa ini bisa dikembangkan.Â