Salah seorang di antara mereka malah jadikan itu untuk skripsinya. Alhamdulillah.
Saya benar-benar senang karena dilingkupi Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar ini, mahasiswa yang fokus belajar bahasa Prancis untuk jadi guru pun punya kans mendapat mata kuliah peminatan jurnalisme ini.
Dalam sesi diskusi beberapa bahkan sudah pasang ancang-ancang minat di bidang ini. Ada yang ingin seperti Najwa Shihab.
Ada yang mau seperti Aiman. Ada pula yang ingin hebat seperti Karni Ilyas. Nama-nama ini tentu muncul dalam perkuliahan serta membahasa literatur yang mengisahkan tokoh-tokoh itu.
Paling tidak, usai lulus mata kuliah ini, mereka bisa mengembangkan diri menjadi kolumnis dan esais. Mereka punya talenta besar di bidang kepenulisan. Jika dirawat dengan baik, keterampilan ini bisa menjadi jalan bagi mereka untuk bekerja pada ranah masing-masing.
Awalnya ada ketidakyakinan karena mereka berasal dari keguruan. Saya kemudian bilang, banyak dari wartawan majalah Tempo itu setahu saya malah lulusan IPB. Saking banyaknya, IPB acap dipelesetkan menjadi Institut Publisistik Bogor.
Karni Ilyas bukan lulusan komunikasi. Ia sarjana hukum yang pengetahuan hukumnya setara menteri kehakiman yang biasa dia reportase kala menjadi jurnalis Tempo dan Forum Keadilan.
Najwa Shihab juga bukan lulusan komunikasi. Ia sarjana hukum dari UI.
Dalam banyak iklan lowongan jurnalis di media besar di Jakarta, rata-rata persyaratan yang umum-umum saja. Yang penting sarjana yang baru lulus.
Karena itu, saya meminta mereka lekas menyelesaikan kuliah. Alhamdulillah setakat ini beberapa sudah seminar proposal dan menuju titik khatimah perkuliahan.
Untuk urusan ini saya senang dengan Nadiem yang benar-benar memberikan kebebasan, kemerdekaan kepada siswa dan mahasiswa. Itu sebab ia membikin Kurikulum Merdeka Merdeka Belajar ini.