Kejadian seperti ini saya ikuti berkali-kali. Tapi bukan saya lo yang menjadi kunci utama tulisan ini. Saya hanya menceritakan beberapa pengalaman sewaktu bekerja di harian itu.
Lantas, apakah ada pengalaman itu saya alami sendiri? Dalam artian, profesi yang saya jalani ini bisa bikin "iri" profesi lain?Â
Pernah sih, tapi tidak banyak. Tidak sementereng dua cerita saya soal orang lain di atas, hahaha.
Dalam biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita, banyak diceritakan betapa akses kepada wartawan bisa didapat meski profesi lain sulit untuk mendapatkan. Termasuk kepada pejabat tinggi setingkat jenderal.
Waktu Karni Ilyas jadi pemimpin redaksi majalah Forum Keadilan, ia perintahkan dua jurnalisnya yang masih muda wawancara Jenderal Leonardus Benyamin "Benny" Moerdhani.Â
Jenderal Moerdhani ini paling anti sama wartawan. Waktu posisinya digeser menjadi duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, banyak wartawan yang hendak wawancara Moerdhani. Tapi semua sungkan karena sang jenderal memang tak suka publikasi wartawan.
Setelah dikejar berminggu-minggu oleh dua jurnalis muda majalah Forum Keadilan, ia bersedia. Cerita "seram" dua wartawan itu saat hendak wawancara Benny, menjadi hal yang menarik.Â
Artinya, meski sulit, jurnalis ada kans sukses ketemu orang penting ketimbang profesi lain yang juga punya keperluan kepada orang itu.
Dari sini saya ambil kesimpulan bahwa profesi jurnalis ini punya muruah tinggi. Tentunya sepanjang rekam jejak media dan jurnalisnya oke-oke saja.Â
Dengan demikian, akses kepada siapa saja, tidak mesti pemegang kekuasaan, bisa didapat. Sebab, akses ini penting untuk kebutuhan verifikasi berita.Â
Sebuah informasi, apalagi yang menyangkut lembaga lain, perlu mendapat respons juga. Hal itu juga mesti diwartakan oleh jurnalis.Â