Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Wartawan Bisa Bikin Iri Profesi Lain?

19 Maret 2023   21:17 Diperbarui: 19 Maret 2023   22:47 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurnalis sedang bekerja. Sumber foto Kompas.com

Pemimpin Redaksi Lampung Post sewaktu saya masih bekerja, Djadjat Sudradjat namanya, pernah cerita dalam sebuah obrolan kepada kami. Waktu itu sedang dekat masa tes menjadi PNS. 

Beberapa teman mencoba peruntungan dengan ikutan tes jadi PNS. Kantor pun mempersilakan. Tidak ada masalah untuk itu.

Yang menarik adalah cerita dari Pak Djadjat. Ia bercerita, sewaktu menjadi reporter koran Media Indonesia (grupnya Lampung Post dan MetroTV), banyak pengalaman lapangan yang berkesan. Satu yang saya ingat, Djadjat cerita betapa pekerjaannya sebagai wartawan membuatnya punya akses ke siapa saja. 

Termasuk kepada menteri. Itu nyata terjadi. Yang menarik, Djadjat ketemu dengan rekan-rekan kuliahnya yang bekerja sebagai PNS di beberapa kementerian.

Kawan-kawan beliau cerita, enak amat jadi wartawan seperti Djadjat. Bisa dapat akses relatif mudah ketemu narasumber. Termasuk bos mereka di kementerian atau kedinasan. 

Padahal mereka saja tak ada waktu untuk ngobrol barang sejenak padahal sekantor. Namun, kepada Djadjat yang wartawan, menteri itu kayak gampang sekali bikin janji untuk wawancara. 

Pak Djadjat cerita itu tanpa bermaksud jemawa. Ia hanya cerita. Bahwa menjadi jurnalis itu memudahkan karena konten yang hendak dibikin itu menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Ada hal yang mau diverifikasi kepada narasumber. Kebetulan narasumbernya menteri.

Pak Djadjat kini anggota DPRD Banyumas, kampung halaman dia. Usai lulus dari UI, ia bekerja di Media Indonesia, surat kabar milik Surya Paloh yang satu grup dengan Lampung Post tempat saya kerja. Waktu saya masuk Lampung Post tahun 2004 sebagai korektor bahasa, Pak Djadjat ini pemimpin redaksinya.

Usai di Lampung Post, Pak Djadjat menjadi direktur pemberitaan setara pemimpin redaksi di Media Indonesia. Ia juga sering tampil di MetroTV. 

Ia juga dikenal sebagai penulis yang bagus. Kolom Refleksi-nya di Lampung Post kala itu sangat dinanti pembaca. Djadjat penulis esai yang bagus menurut saya. Esainya hidup dan kita mendapat pencerahan kala membacanya.

Kalau saya perhatikan kala itu, memang mudah sekali, mungkin juga sekarang masih, akses kepada wartawan dari pejabat publik. Wabilkhusus diberikan mereka yang pejabat publik. 

Syaratnya, jurnalis itu memang benar bekerja di media yang punya muruah, dan si jurnalis punya rekam jejak yang baik.

Ia datang sebagai pewarta, bukan pemeras. Ia datang untuk cari berita, bukan cari uang. Ia datang untuk memverifikasi, bukan menjustifikasi. 

Ia datang untuk wawancara bukan minta proyek. Ia datang dengan intelektual yang tinggi, bukan sekadar juru tulis.

Djadjat sampai bilang, kala ia datang ke kementerian, sikap setara sangat kentara. Dalam artian, ia yang reporter biasa dengan seorang menteri tak berjarak. Wartawan tak perlu sampai membungkukkan badan kala bersalaman dengan narasumber. 

Beda dengan pegawai di sebuah instansi yang rada tergopoh-gopoh ketika menghadap kepalanya.

Usai Pak Djadjat, pemimpin redaksi kala itu berpindah ke pejabat lain. Namanya Ade Alawi. Ini sekitar tahun 2006 sampai 2008. 

Ade lama sebagai kepala biro Media Indonesia di Sumatera Barat. Ia berkarib dengan eks Bupati Solok Gamawan Fauzi yang kelak menjadi gubernur Sumatera Barat.

Sewaktu ada acara di Lampung, Ade mengundang Gamawan untuk hadir diskusi di aula Lampung Post. Ia datang. 

Acara ramai kala itu. Publik rada heran juga. Dengan agenda yang padat di Lampung, Gamawan masih sempat jadi narasumber diskusi kala itu. 

Barangkali urgensi media massa dipahami benar olehnya. Sehingga memilih menghadiri sebagai narasumber diskusi ketimbang acara lain.

Kejadian seperti ini saya ikuti berkali-kali. Tapi bukan saya lo yang menjadi kunci utama tulisan ini. Saya hanya menceritakan beberapa pengalaman sewaktu bekerja di harian itu.

Lantas, apakah ada pengalaman itu saya alami sendiri? Dalam artian, profesi yang saya jalani ini bisa bikin "iri" profesi lain? 

Pernah sih, tapi tidak banyak. Tidak sementereng dua cerita saya soal orang lain di atas, hahaha.

Dalam biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita, banyak diceritakan betapa akses kepada wartawan bisa didapat meski profesi lain sulit untuk mendapatkan. Termasuk kepada pejabat tinggi setingkat jenderal.

Waktu Karni Ilyas jadi pemimpin redaksi majalah Forum Keadilan, ia perintahkan dua jurnalisnya yang masih muda wawancara Jenderal Leonardus Benyamin "Benny" Moerdhani. 

Jenderal Moerdhani ini paling anti sama wartawan. Waktu posisinya digeser menjadi duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, banyak wartawan yang hendak wawancara Moerdhani. Tapi semua sungkan karena sang jenderal memang tak suka publikasi wartawan.

Setelah dikejar berminggu-minggu oleh dua jurnalis muda majalah Forum Keadilan, ia bersedia. Cerita "seram" dua wartawan itu saat hendak wawancara Benny, menjadi hal yang menarik. 

Artinya, meski sulit, jurnalis ada kans sukses ketemu orang penting ketimbang profesi lain yang juga punya keperluan kepada orang itu.

Dari sini saya ambil kesimpulan bahwa profesi jurnalis ini punya muruah tinggi. Tentunya sepanjang rekam jejak media dan jurnalisnya oke-oke saja. 

Dengan demikian, akses kepada siapa saja, tidak mesti pemegang kekuasaan, bisa didapat. Sebab, akses ini penting untuk kebutuhan verifikasi berita. 

Sebuah informasi, apalagi yang menyangkut lembaga lain, perlu mendapat respons juga. Hal itu juga mesti diwartakan oleh jurnalis. 

Jangan sampai menulis satu hal tapi tendensius kepada satu atau dua pihak yang disengaja tak diberikan ruang berpendapat.

Media massa akan tetap punya muruah kalau standar operasional jurnalistiknya terpenuhi. Inilah yang membuat profesi jurnalisnya kerap bikin "iri" profesi lain. 

Jika yang lain sulit untuk bertemu, dengan jurnalis semua terbuka. Sebab, mereka tahu ini buat berita. 

Mereka bercerita karena akan diperjuangkan dalam narasi yang dibangun dalam karya jurnalistik. Mereka mau cerita karena bukan sekadar konten di media sosial yang cuma harap cuan.

Jurnalisme membawa pesan-pesan yang sarat dengan urusan publik. Bukan urusan privat. Bukan urusan pribadi orang per orang. 

Tapi ia melulu berkenaan dengan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.  [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun