Kalau saya perhatikan kala itu, memang mudah sekali, mungkin juga sekarang masih, akses kepada wartawan dari pejabat publik. Wabilkhusus diberikan mereka yang pejabat publik.Â
Syaratnya, jurnalis itu memang benar bekerja di media yang punya muruah, dan si jurnalis punya rekam jejak yang baik.
Ia datang sebagai pewarta, bukan pemeras. Ia datang untuk cari berita, bukan cari uang. Ia datang untuk memverifikasi, bukan menjustifikasi.Â
Ia datang untuk wawancara bukan minta proyek. Ia datang dengan intelektual yang tinggi, bukan sekadar juru tulis.
Djadjat sampai bilang, kala ia datang ke kementerian, sikap setara sangat kentara. Dalam artian, ia yang reporter biasa dengan seorang menteri tak berjarak. Wartawan tak perlu sampai membungkukkan badan kala bersalaman dengan narasumber.Â
Beda dengan pegawai di sebuah instansi yang rada tergopoh-gopoh ketika menghadap kepalanya.
Usai Pak Djadjat, pemimpin redaksi kala itu berpindah ke pejabat lain. Namanya Ade Alawi. Ini sekitar tahun 2006 sampai 2008.Â
Ade lama sebagai kepala biro Media Indonesia di Sumatera Barat. Ia berkarib dengan eks Bupati Solok Gamawan Fauzi yang kelak menjadi gubernur Sumatera Barat.
Sewaktu ada acara di Lampung, Ade mengundang Gamawan untuk hadir diskusi di aula Lampung Post. Ia datang.Â
Acara ramai kala itu. Publik rada heran juga. Dengan agenda yang padat di Lampung, Gamawan masih sempat jadi narasumber diskusi kala itu.Â
Barangkali urgensi media massa dipahami benar olehnya. Sehingga memilih menghadiri sebagai narasumber diskusi ketimbang acara lain.