Ayah saya, kami memanggilnya Papi, tahun 1998 kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Papi bekerja di sebuah perusahaan swasta. Kadang perusahaannya bikin perumahan, kadang urus produksi tetes tebu, kadang bikin perkebunan melon di daerah lain.
Kerjanya tidak sekadar di dalam Lampung, kadang keluar kota. Pernah urus tetes tebu perusahaan bos dia di Payakabung, Sumatera Selatan.
Tahun 1998, saat krisis moneter (krismon) melanda, Papi akhirnya kena PHK. Ia terbilang karyawan terakhir yang kena PHK. Saya masih semester dua kala itu.
Usai di-PHK, kami didudukkan di ruang tengah rumah. Saya tiga bersaudara. Ibu seorang guru sekolah dasar. PNS. Tapi gaji guru dulu tidak serupa sekarang. Belum ada yang namanya sertifikasi.
Papi dengan berat hati bilang ia kena PHK, tapi kami diminta tetap semangat sekolah. Adik saya sedang sekolah di sebuah sekolah setingkat SMA di Pekanbaru. Untungnya ikatan dinas dengan Kementerian Kehutanan.Â
Tapi bulanan tetap dikirim setahu saya. Adik nomor dua masih sekolah dasar.
Mobil Kijang pikap juga ditarik kantor. Papi biasa gunakan itu sehari-hari. Saya bisa kendarai mobil sejak kelas III SMP. Belajar dari Papi dengan Kijang pikap itu.
Papi kemudian mengurus kebun kopi peninggalan ibunya. Sayang tidak lama. Hanya tiga tahunan.Â
Tahun 1998 itu saya kemudian memutuskan cuti kuliah. Papi dan ibu tidak tahu. Saya berat juga mau kuliah dengan kondisi Papi tidak bekerja. Saya kebawa perasaan.
Tahun itu jelang pemilu. Saya aktif bantu-bantu pendataan pemilih. Pantarlih kalau sekarang istilahnya. Dari situ dapat uang.Â