Urusan serikat pekerja ini memang ngeri-ngeri sedap. Ada semacam stigma jika menyebut serikat pekerja. Pemilik media kebanyakan tidak mau di dalam perusahaan ada serikat pekerja.
Padahal dengan berserikat, pekerja punya daya tawar yang kuat. Di serikat inilah semua persoalan bisa dibahas dan diteruskan kepada perusahaan. Misalnya soal kelayakan upah, cuti hamil, cuti melahirkan, uang lembur, insentif, dan lainnya.Â
'Namun, jika tak ada serikat, urusan diserahkan ke masing-masing pekerja. Kalau ada mental, berani bertanya kepada perusahaan. Tapi kalau tipikal adem ayem saja, menerima saja ketentuan kantor.Â
Serikat di satu sisi menguatkan, tapi di sisi lain tidak disukai kebanyakan pemilik media massa.
Ketujuh, beban berat
Khusus mereka yang bekerja di media massa daring ataupun konvergensi media, pekerja lebih berat lagi. Ini mirip ujaran banyak orang. Katanya kerja bagai kuda.
Lazimnya media yang punya banyak lini, reporternya mesti bisa bikin banyak variasi berita. Sudahlah diminta menulis untuk online, masih juga dapat tugas merekam sebagai berita videp pendek.Â
Dalam sehari, media massa arus utama memberikan beban kepada reporternya. Biasanya antara 6-9 berita.Â
Ini tergolong banyak. Apalagi kalau tiap berita mesti ke satu tempat. Berarti ada 6-9 tempat yang mesti dituju. Ongkos sudah berapa, bensin bagaimana, dan sebagainya.Â
Masih lumayan kalau dapat insentif jika kuantitas berita sesuai dengan target. Jika tidak, honornya pas saja.
Bagi pembaca setia tulisan saya, wabilkhusus soal media massa, mungkin timbul pertanyaan. Mengapa dengan cerita-cerita "semenderita" ini, masih ada yang mau jadi wartawan? Bagaimana mereka bisa hidup? Untuk pertanyaan ini, silakan baca Intip Bagaimana Media Massa Lokal Bertahan Hidup