Ibaratnya begini. Kita yang sudah editor gajinya tiga juta rupiah, di media sebelah gaji itu setara reporter. Jadi, editor media sebelah tentu lebih tinggi. Wong yang atasan gajinya setara wartawan biasa tanpa jabatan apa-apa.
Kontributor media massa daring nasional malah bisa dibilang parah lagi. Mereka tidak ada kans menjadi karyawan tetap. Maka itu disebut kontributor.Â
Ya wartawan juga, tetapi sebutannya kontributor. Mereka dapat upah berdasarkan produktivitas. Bisa menulis banyak berita, ya lumayan. Kalau pas tak dapat berita, ya banyak-banyak istigfar.Â
Satu berita yang tayang di media daring kelas nasional, dalam buku yang ditulis Citra Maudy, kisaran Rp35 ribu-Rp60 ribu. Saya pernah mengalami ini tiga tahun kala menjadi kontributor KBR68H.Â
Satu berita naik siar tanpa klip dibayar Rp60 ribu. Satu berita naik siar dengan klip suara narasumber dibayar Rp75 ribu.Â
Kalau bisa bikin feature, honor per tulisan dihargai kurang lebih Rp350 ribu. Itu dulu ya.
Ketiga, tiada honor basis bagi kontributor
Persoalan lain bagi kontributor media nasional dan daerah itu, sebagaimana sering dikampanyekan AJI adalah tiada honor basis. Honor basis ini uang yang didapat pekerja media meskipun ia tak bekerja apa-apa.Â
Honor basis diniatkan sebagai modal wartawan bekerja. Misalnya untuk mengisi bensin dan pulsa. Namun, kampanye soal honor basis ini jarang didengar atau bahkan tiada lagi.
Kebanyakan kontributor memang bekerja ibarat prajurit pilih tanding alias digdaya. Perlengkapan ia mesti siapkan sendiri. Termasuk ponsel dan laptop.Â
Demikian juga untuk kuda besi yang dipacu saban hari mengejar narasumber. Ia hanya berharap beritanya banyak dimuat media massa dan diakumulasi tiap bulan.