Seorang teman wartawan media nasional bercerita, ia mematikan ponsel saat Lebaran. Pasalnya, pasti dapat suruhan meliput kegiatan pejabat publik saat Idulfitri.Â
Entah itu halalbihalal, open house, silaturahmi massa, dan sejenisnya. Dia bilang, lagi enak-enak makan ketupat malah disuruh liputan, hahaha.
Kelima, tidak semua narasumber mau diwawancarai
Dalam buku biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita, Karni bilang begini. Wartawan itu baru dibilang kerja kalau narasumbernya tidak mau diwawancarai. Di situlah diuji bagaimana kemampuan wartawan meyakinkan narasumber untuk mau diwawancarai.Â
Kalau malah narasumber yang mencari-cari wartawan untuk diberitakan, belum dibilang kerja namanya. Duh, duh, duh.
Jurnalis baru dibilang kerja kalau narasumber menolak diwawancarai. Nah lho, bagaimana cara dapat berita kalau narasumber menampik pertanyaan wartawan? Ya tinggal pintar-pintar meyakinkan saja wartawannya itu kepada narasumber.Â
Kejar ke manapun juga. Ingat cerita saya saat mau wawancara Amiens Rais? Baca ini deh. Gara-Gara Amien Rais, Saya Dimarahi Editor
Keenam, enggan berserikat
Pekerja media massa, dalam catatan Citra Maudy, belum melihat urgensi masuk serikat pekerja. Bahkan, tak banyak juga media massa yang mengizinkan pekerjanya bikin serikat pekerja.Â
Yang saya tahu ada di Kompas namanya Perkumpulan Karyawan Kompas disingkat PKK. Juga ada di tabloid Kontan. Namun, di tempat lain, nyaris tidak ada.
Saya mengutip tulisan Citra Maudy. Dalam data Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) tahun 2019, disebutkan bahwa ada 210 media massa yang domisilinya di Jakarta. Dari jumlah itu, hanya ada 12 serikat pekerja. Dari 12 itu, 10 berbasis perusahaan, 2 serikat pekerja lintas perusahaan.