Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Tidak Semua Wartawan Merayakan Hari Pers Nasional?

8 Februari 2023   20:55 Diperbarui: 10 Februari 2023   07:32 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jurnalisme (sumber: Getty Images/iStockphoto via kompas.com)

Tanggal 9 Februari kini dirayakan saban tahun sebagai Hari Pers Nasional. Hari Pers Nasional secara legalitas diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.

Sejarah Hari Pers Nasional juga tak lepas kaitannya dengan organisasi PWI yang terbentuk pada 9 Februari 1946. Jadi, ringkas kata, HUT PWI menandai Hari Pers Nasional.

PWI adalah organisasi profesi pers. Selama masa Orde Baru, memang tak ada organisasi profesi pers lain selain PWI. Itu juga disebabkan kekuasaan Orde Baru yang demikian kuat yang asasinya mengekang kemerdekaan pers.

Media massa kala itu benar-benar khawatir kalau-kalau berita yang mereka naik siarkan berkaitan dengan Cendana dan kroni-kroninya. 

Unjuk rasa besar yang memicu tragedi Malari saja berujung pada beredel media massa. Salah satunya yang tak terbit-terbit lagi koran Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis.

Era Suharto memang menjadi masa suram di mana kebebasan pers sangat terkungkung. Organisasi profesi pers seperti PWI kala itu juga mau tak mau dipaksa oleh keadaan.

Tahun 1994, usai tiga media massa diberedel pemerintah, yakni Detik, Tempo, dan Editor, lahirlah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam deklrasi Sirnagalih di Bogor tepatnya 7 Agustus 1994. 

Masa itu AJI berjalan dalam diam. Senyap bergerak. Wartawan yang ketahuan ikutan AJI juga diberhentikan oleh media massanya.

AJI lahir dari embrio perlawanan untuk menuntut kebebasan pers, independensi, dan kesejahteraan jurnalis. Namun, karena Orde Baru masih galak-galaknya, aktivitas lembaga ini berada di bawan tanah alias sembunyi-sembunyi.

Usai reformasi, muncul banyak lembaga pers atau organisasi profesi pers. Kalangan jurnalis televisi membentuk Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Kini, setahu saya, di Dewan Pers, ada tiga organisasi profesi pers yang diakui negara, yakni PWI, AJI, dan IJTI.

Masa media daring bermunculan, juga banyak organisasi wartawan. Ada yang namanya Ikatan Wartawan Online atau (IWO), juga beberapa serikat atau aliansi media massa daring. Misalnya Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) dan lainnya.

Jadi, kini, tidak semua wartawan itu bernaung di bawah PWI. Tapi memang, kadang publik menyamaratakan semua. 

Hampir tiap kali Hari Pers Nasional, pesan di ponsel saya masuk beberapa ucapan. Mereka kira saya juga anggota PWI dan merayakan Hari Pers Nasional.

Kalau merujuk pada sejarah Hari Pers Nasional, memang hanya mereka yang tergabung dalam PWI saja yang merayakan. Mereka yang mungkin lahir belakangan dan hidup alam reformasi, bisa memilih organisasi yang mau diikuti.

Masuk organisasi profesi pers ini tidak dipaksa. Tidak masuk juga tidak apa-apa. 

Beberapa jurnalis dari media-media besar ada kecenderungan tidak bernaung di bawah organisasi profesi pers manapun. Saya pernah ketemu pemimpin redaksi koran besar nasional berbasis ekonomi. 

Dia bilang, kalau di media massanya sudah diurusi semua, tak perlu lagi bergabung dengan organisasi profesi pers. Itu kata dia.

Mereka sudah menganggap bekerja di media massa yang bonafide itu sudah cukup. Kalau ada apa-apa dengan kerjaan, kantorlah yang maju.

Berorganisasi juga bukan pilihan wajib bagi jurnalis sekarang. Mau ikut organisasi profesi pers, silakan, tidak juga tak apa-apa. 

Mau masuk PWI, silakan, mau masuk AJI, IJTI ataupun lainnya tak masalah. Apalagi kecenderungan jurnalis milenial tidak begitu memedulikan.

Paling satu yang bikin pening untuk syarat bisa ikut uji kompetensi wartawan-nya PWI atau uji kompetensi jurnalis (UKJ)-nya AJI. Bisa dapat sertifikat kompeten ini baik level muda, madya, dan utama mesti diteken oleh Dewan Pers. 

Persoalannya, Dewan Pers hanya meneken uji kompetensi yang diadakan organisasi profesi pers yang diakui Dewan Pers. Bisa saja sih mengikuti uji kompetensi yang diadakan media massa kita. 

Setahu saya, kawan-kawan di Kompas, uji kompetensinya diadakan sendiri. Mereka tak mengharuskan jurnalisnya ikutan uji kompetensi di organisasi profesi pers.

Kita juga bisa ikutan di Lembaga Pers Dr Soetomo. Kantor berita Antara setahu saya juga acap mengadakan uji kompetensi sendiri.

Jadi, pembaca sekalian, tidak semua wartawan yang ada di Indonesia ini merayakan Hari Pers Nasional. Sebab, mereka tidak bergabung di PWI. Hari Pers Nasional ini hari lahirnya PWI.

Sama saja misalnya jika ada kawan saya dari Aceh yang juga kompasianer Masykur Mahmud namanya. Dia ulang tahun. 

Saya ulang tahunnya tak sama dengan dia. Saya mungkin sekadar mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi saya tidak merayakan hari ulang tahunnya.

Buat apa kita merayakan hari ulang tahun padahal kita tak punya kaitan apa-apa. Lantas, jika tak merayakan Hari Pers Nasional, merayakan apa, dong?

Jurnalis seluruh dunia lazim merayakan dan memaknai Hari Kebebasan Pers Dunia secara internasional yang diproklamasikan Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyusul rekomendasi Sidang ke-26 Konferensi Umum UNESCO tahun 1991. Setiap tanggal 3 Mei dirayakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers.

Unjuk rasa jurnalis menolak kekerasan terhadap wartawan. Dokumentasi katadata.co.id
Unjuk rasa jurnalis menolak kekerasan terhadap wartawan. Dokumentasi katadata.co.id

Dikutip dari katadata.co.id, penetapan Hari Kebebasan Pers Sedunia ini diadakan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi.

Ini sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.

Selain itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia juga untuk menandai peringatan Deklarasi Windhoek, yang berisi mengenai prinsip-prinsip pers bebas yang disusun oleh wartawan surat kabar Afrika di Windhoek, Namibia, pada 1991.

Lantas, kalau jurnalis tidak merayakan hari pers apa pun, tidak masalah? Tidak merayakan apa-apa pun tidak masalah.

Esensi jurnalisme adalah menguatkan kontrol terhadap kekuasaan. "Nabi Jurnalisme" Bill Kovach bilang, media massa harus tampil sebagai pengontrol kekuasaan. Kekuasaan perlu dikontrol dengan kekuatan media massa. Lazimnya, pejabat negara itu vis a vis media massa.

Sebab, orang berkuasa punya kecenderungan menyeleweng. Lord Acton bilang, kekuasaan cenderung korup. 

Maka untuk mencegah kekuasaan korup, media massa mesti berani kasih kontrol dengan pemberitaan yang kritis, faktual, ketat dalam verifikasi, dan mematuhi kode etik.

Kalau media massanya atau organisasi profesi persnya malah berasyik masyuk dengan penguasa, ke mana suara publik hendak diwartakan?

Lucunya juga ada kecenderungan di mana-mana, media massa kasih penghargaan kepada kepala negara atau kepala daerah. Logikanya dari mana?

Kalau media massa sudah kasih penghargaan kemudian bermanis-manis kepada penguasa, itu sama saja balik lagi ke zaman Orde Baru dulu.

Jurnalis, media massa, dan organisasi profesi pers mestinya makin ketat dalam memberikan kontrol. Misalnya, kekuasaan presiden yang hendak diutak-atik sampai ada diksi perpanjangan, mestinya menjadi perhatian semua media massa. 

Termasuk adanya ide untuk memanjangkan masa jabatan kepala desa sampai 9 tahun satu periode. Itu semua peluang menyalahgunakan kekuasaan dengan berlindung dari kata "demokrasi".

Buat apa berdarah-darah reformasi kalau ujungnya balik lagi otoritarianisme seperti mendiang Suharto. Kini, yang paling esensial adalah mengembalikan muruah media massa, jurnalis, dan organisasi profesi pers kepada asasinya.

Jurnalisme mesti memberikan kontrol sosial yang kuat kepada semua bentuk kekuasaan. Media massa mesti skeptis dan kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah yang bisa merugikan rakyat.

Merayakan sesuatu tidak akan punya makna jika esensi dari eksistensinya itu tidak pernah lagi dijalankan dengan istikamah. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun