Selain itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia juga untuk menandai peringatan Deklarasi Windhoek, yang berisi mengenai prinsip-prinsip pers bebas yang disusun oleh wartawan surat kabar Afrika di Windhoek, Namibia, pada 1991.
Lantas, kalau jurnalis tidak merayakan hari pers apa pun, tidak masalah? Tidak merayakan apa-apa pun tidak masalah.
Esensi jurnalisme adalah menguatkan kontrol terhadap kekuasaan. "Nabi Jurnalisme" Bill Kovach bilang, media massa harus tampil sebagai pengontrol kekuasaan. Kekuasaan perlu dikontrol dengan kekuatan media massa. Lazimnya, pejabat negara itu vis a vis media massa.
Sebab, orang berkuasa punya kecenderungan menyeleweng. Lord Acton bilang, kekuasaan cenderung korup.Â
Maka untuk mencegah kekuasaan korup, media massa mesti berani kasih kontrol dengan pemberitaan yang kritis, faktual, ketat dalam verifikasi, dan mematuhi kode etik.
Kalau media massanya atau organisasi profesi persnya malah berasyik masyuk dengan penguasa, ke mana suara publik hendak diwartakan?
Lucunya juga ada kecenderungan di mana-mana, media massa kasih penghargaan kepada kepala negara atau kepala daerah. Logikanya dari mana?
Kalau media massa sudah kasih penghargaan kemudian bermanis-manis kepada penguasa, itu sama saja balik lagi ke zaman Orde Baru dulu.
Jurnalis, media massa, dan organisasi profesi pers mestinya makin ketat dalam memberikan kontrol. Misalnya, kekuasaan presiden yang hendak diutak-atik sampai ada diksi perpanjangan, mestinya menjadi perhatian semua media massa.Â
Termasuk adanya ide untuk memanjangkan masa jabatan kepala desa sampai 9 tahun satu periode. Itu semua peluang menyalahgunakan kekuasaan dengan berlindung dari kata "demokrasi".
Buat apa berdarah-darah reformasi kalau ujungnya balik lagi otoritarianisme seperti mendiang Suharto. Kini, yang paling esensial adalah mengembalikan muruah media massa, jurnalis, dan organisasi profesi pers kepada asasinya.