Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

1 Abad NU, Membangun Kemandirian Ekonomi Pondok Pesantren

7 Februari 2023   08:13 Diperbarui: 9 Februari 2023   00:40 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1 Abad NU. Sumber tangkapan layar NU Online

Pondok pesantren di Indonesia memang lekat dengan Nahdlatul Ulama atau NU, organisasi masyarakat (ormas) Islam dengan jumlah warga paling banyak se-Indonesia. Bicara pondok pesantren atau ponpes, memang secara tradisi, NU-lah yang paling dikenal. 

Ormas Islam lain juga punya ponpes. Akan tetapi, jenama ini lekat dengan NU.

Satu abad NU ini punya catatan menarik soal ponpes. Tentu tidak dengan kurikulum yang selama ini sudah dijalankan. 

Catatan menarik itu bagi saya adalah bagaimana ponpes bisa menjadi satu entitas ekonomi yang bisa mencukupkan kebutuhan sendiri kemudian mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar dan menjadi lembaga mandiri secara ekonomi.

Pokok pijak gagasan ini adalah melihat betapa potensi ponpes itu besar. Jumlah santri di satu ponpes yang tergolong besar saja bisa mencapai ribuan. 

Saya hakulyakin, tidak semua orangtua santri bisa mencukupi kebutuhan anak-anak mereka yang diponpeskan. Mungkin karena ada yang berasal dari masyarakat prasejahtera, mereka tak bisa sekaligus mencukupi kebutuhan anak-anak selama di ponpes.

Karena rata-rata juga berada di desa, kehidupan ekonomi ponpes pun bisa dibilang rata-rata air. 

Saya lumayan mengetahui ini karena sering mengikuti kegiatan kunjungan kerja legislator pusat ke banyak ponpes di Lampung. Kasatmata sejauh ini, kehidupan ekonomi ponpes memang mesti ditingkatkan.

Kita perlu mendorong lagi ponpes memiliki divisi usaha yang mapan. Para santri juga diajarkan untuk hidup dengan jiwa wirausahawan yang tangguh. Setakat ini, banyak bantuan yang diberikan pemerintah kepada ponpes untuk berkembang menjadi unit usaha yang produktif.

Memang ada wacana kekhawatiran jika ponpes lebih serius menggarap soal ekonomi ini. Ada kekhawatiran kurikulum ponpes malah terganggu karena santrinya lebih piawai berbisnis ketimbang mengaji kitab kuning.

Pandangan ini menurut saya bisa ditelaah lebih lanjut. Para santri tetap bisa fokus dengan aktivitas ngaji mereka di ponpes. Namun, mereka juga disiapkan bekalan untuk menjadi wirausahawan dan pebisnis andal.

Di beberapa ponpes yang saya sambangi, ada bantuan kepada entitas itu. Kini ada lembaga yang namanya Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren).

Pada konsep virtual market, Hebitren berupaya memaksimalkan potensi ekonominya dengan integrasi ekosistem digital dan virtual market antarpesantren, peningkatan jangkauan pasar, kesiapan pembayaran digital, peningkatan kompetisi antarpesantren.

Pada konsep replikasi bisnis, Hebitren mendorong replikasi bisnis pesantren yang terbukti bagus untuk diduplikasi, dan dikembangkan di pesantren dalam jejaring Hebitren, sehingga terjadi akselerasi penguatan bisnis berbasis pesantren.

Pada konsep unit usaha pesantren, Hebitren bembentuk usaha bersama dalam payung holding ekonomi dan bisnis pesantren untuk menyinergikan dan peningkatan kapasitas usaha pesantren menuju arus ekonomi baru Indonesia.

Memaksimalkan unit usaha tiap ponpes memang akan berbeda satu dan lainnya. Tiap ponpes mesti mencari kira-kira keunggulan komparatifnya jika dibandingkan dengan yang lain.

Ada ponpes besar di Kalianda, Lampung Selatan, yang memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan keseharian santri dengan harga terjangkau. Mereka juga memiliki unit usaha minuman segar herbal yang dijual keluar.

Ada pula unit usaha tanaman dan ternak lebah madu untuk menambah kas ponpesnya. Masih ditambah lagi dengan ternak ikan lele dan jenis lainnya.

Ini akan sangat bagus jika dikembangkan di semua ponpes yang terafiliasi ke NU. Dengan santri yang sangat banyak, itu sangat memungkinkan untuk dibuat jatah menjalankan usaha secara bergiliran.

Jika mengusahakan banyak unit usaha belum mampu, memang yang paling memungkinkan adalah memilih salah satunya.

Misalnya fokus saja usaha tanaman herbal. Dengan lahan yang rata-rata masih mencukupi di tiap ponpes, jenis usaha ini bisa dilaksanakan. 

Para santri dipergilirkan untuk merawat tanaman itu usai mereka mengaji. Pengelola atau manajemen ponpes juga mesti mencari kreasi lain dari tanaman herbal ini. Misalnya dengan memproduksi minuman dari hasil tanaman herbal ini.

Fokusnya tetap pada tanaman, kemudian ada diversifikasi usaha untuk menambah pemasukan unit usaha ponpes tersebut.

Di Pringsewu, Lampung, pengelola bank sampah saban malam Ahad bikin paspampres alias pasar malam pesantren. Ini bekerja sama dengan ponpes di lingkungan bank sampah itu. Para ibu bisa menjual makanan dan minuman untuk pengunjung.

Yang jelas, mimpi membangun unit usaha bisnis ini memang mesti dicanangkan dengan baik, menanamkan kesadaran itu dengan kuat, dan yang paling penting menjaga kontinuitasnya.

Tak apa dengan omzet yang kecil tapi rutin diputar terus modalnya. Tak mengapa fokus dengan satu bidang saja ketimbang lekas-lekas merambah lain tapi kemudian hancur.

Saya kira, kepedulian pemerintah kepada ponpes juga semakin ke sini semakin besar. Itu bisa dimanfaatkan sebagai stimulus untuk makin menguatkan bisnis yang dilakukan.

Ke depan, santri kita ini bukan hanya akan piawai dalam kehidupan keagamaan, melainkan piawai dalam menjalankan bisnis. Apalagi ditunjang dengan maraknya pemasaran digital dimana produk semakin mudah dikenalkan.

Saya melihat potensi di tiap ponpes yang ada ini besar. Ambil contoh menyediakan semua kebutuhan santri saja dengan margin yang tipis-tipis saja. Dari sini sudah berapa duit yang masuk untuk kemudian diputar lagi.

Akan lebih baik memang ke depan semua unit usaha ponpes ini berbadan usaha. Koperasi misalnya. 

Memang nama koperasi ini sekarang cenderung diabaikan karena orang banyak tak begitu yakin lagi dengan koperasi. Namun, koperasi sejauh ini tetap menjadi sakaguru perekonomian Indonesia. Konsep terbaik untuk jenis usaha kemasyarakatan berbasis kegotongroyongan di Tanah Air memang masih koperasi.

Itu sebabnya pula Kementerian Koperasi masih ada sampai dengan sekarang. Termasuk yang sekarang didapukkan kepada Teten Masduki, eks aktivis antikorupsi di ICW itu.

Dengan melihat jumlah santri, jumlah ponpes, dan lingkungan sekitar ponpes yang padat oleh masyarakat, sangat layak untuk menjadikan membangun kemandirian ponpes ini sebagai isu utama satu abad NU.

Atau paling tidak, ke depan, usai perhelatan satu abad NU ini, pengelola ponpes bisa makin sadar kalau ke depan potensi ekonomi ini mesti digerakkan. 

Wallahul muwafik ila aqwamittoriq. [Adian Saputra]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun