Fokusnya tetap pada tanaman, kemudian ada diversifikasi usaha untuk menambah pemasukan unit usaha ponpes tersebut.
Di Pringsewu, Lampung, pengelola bank sampah saban malam Ahad bikin paspampres alias pasar malam pesantren. Ini bekerja sama dengan ponpes di lingkungan bank sampah itu. Para ibu bisa menjual makanan dan minuman untuk pengunjung.
Yang jelas, mimpi membangun unit usaha bisnis ini memang mesti dicanangkan dengan baik, menanamkan kesadaran itu dengan kuat, dan yang paling penting menjaga kontinuitasnya.
Tak apa dengan omzet yang kecil tapi rutin diputar terus modalnya. Tak mengapa fokus dengan satu bidang saja ketimbang lekas-lekas merambah lain tapi kemudian hancur.
Saya kira, kepedulian pemerintah kepada ponpes juga semakin ke sini semakin besar. Itu bisa dimanfaatkan sebagai stimulus untuk makin menguatkan bisnis yang dilakukan.
Ke depan, santri kita ini bukan hanya akan piawai dalam kehidupan keagamaan, melainkan piawai dalam menjalankan bisnis. Apalagi ditunjang dengan maraknya pemasaran digital dimana produk semakin mudah dikenalkan.
Saya melihat potensi di tiap ponpes yang ada ini besar. Ambil contoh menyediakan semua kebutuhan santri saja dengan margin yang tipis-tipis saja. Dari sini sudah berapa duit yang masuk untuk kemudian diputar lagi.
Akan lebih baik memang ke depan semua unit usaha ponpes ini berbadan usaha. Koperasi misalnya.Â
Memang nama koperasi ini sekarang cenderung diabaikan karena orang banyak tak begitu yakin lagi dengan koperasi. Namun, koperasi sejauh ini tetap menjadi sakaguru perekonomian Indonesia. Konsep terbaik untuk jenis usaha kemasyarakatan berbasis kegotongroyongan di Tanah Air memang masih koperasi.
Itu sebabnya pula Kementerian Koperasi masih ada sampai dengan sekarang. Termasuk yang sekarang didapukkan kepada Teten Masduki, eks aktivis antikorupsi di ICW itu.
Dengan melihat jumlah santri, jumlah ponpes, dan lingkungan sekitar ponpes yang padat oleh masyarakat, sangat layak untuk menjadikan membangun kemandirian ponpes ini sebagai isu utama satu abad NU.