Namun, dalam konteks sekarang, media massa, narablog, dan penulis lain mesti memberikan rujukan yang benar. Karena itulah, akan lebih baik jika kamus menjadi bahan utama untuk menemukan diksi yang pas untuk dipakai.
Kamus setebal itu juga menyimpan kata yang relatif baru untuk kita gunakan. Ini akan berguna memberikan perspektif baru kepada khalayak pembaca. Tujuannya, mereka mendapatkan hal-hal yang baru dalam kebahasaan.
Ini juga bertujuan agar pemahaman kebahasaan kita kelasnya tidak semenjana (menengah atau sedang). Kita ingin ada pemahaman yang prima soal kebahasaan ini.
Isi ketiga Sumpah Pemuda soal menjunjung bahasa persatuan bukanlah hal yang mudah sekarang. Kita kini digempur dengan beragam kosakata baru baik dalam bahasa asing maupun pemangkasan bahasa kita sendiri.Â
Pembaca bisa membuka artikel yang pernah saya unggah di Kompasiana dan sempat menjadi artikel utama pilihan administrator Kompasiana. Judulnya "Mengapa Kita Gemar Memangkas Kosakata".
Kembali ke diksi agama. Ini memang sesuatu yang bakal sering kita temui.Â
Apalagi satu setengah bulan lagi insya Allah kita memasuki Ramadan. Mungkin juga Kompasiana akan membuka banyak kompetisi selama bulan suci itu. Sudah pasti kita akan menulis beberapa diksi agama ke dalam tulisan.
Oleh karena itu, kamus berguna untuk memandu kita. Saya sependapat jika ada yang mengatakan kamus bukanlah harga mati.Â
Sudah tentu saya setuju. Sebab, ini bikinan manusia yang tempatnya salah, silap, dan khilaf.
Namun, karena yang menyusunnya banyak ahli bahasa, saya mengusulkan tetap kita hargai dengan menggunakannya dalam ragam bahasa percakapan dan penulisan. Inilah barangkali pahala kita merawat dan menjaga muruah bahasa kita.
Oh iya, di tempat Anda sudah ada peringatan Isra Mikraj belum? Tempat saya sudah. Terima kasih sudah membaca secara saksama. [Adian Saputra]