Sebentar lagi kita akan merayakan Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. Ini adalah kisah perjalanan Nabi dari Masjidilharam ke Masjidilaksa di Palestina kemudian naik ke Sidratulmuntaha dan bertemu Allah swt serta menerima perintah salat lima waktu.
Alinea di atas saya gunakan dalam pakem bahasa Indonesia sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pembaca akan menemukan diksi "salat", "saw" sebagai kependekan dari shallallahualaihi wasalam.Â
Juga mungkin asing dengan penyebutan "Masjidilharam" dan "Masjidilaksa" dalam penulisan itu. Alih-alih kita selama ini mungkin lebih lazim dengan Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan "shalat".
Sebelum merambah lebih jauh, saya ingin menjelaskan sedikit. Perihal pilihan diksi ini memang bergantung pada pemahaman soal bahasa itu sendiri. Bagi mereka yang ranah bekerja di bidang penyuntingan, hal ini sering ditemui.
Mereka akan paham dengan beberapa diksi di dalam kamus. Sesuatu yang barangkali asing bagi awam. Namun, tidak masalah. Persoalan bahasa kadang juga soal pilihan, citarasa, dan kesenangan kita.
Saya pernah diminta mengedit satu buah buku tentang salat dan politik. Karena tahu saya lumayan pakem dalam bahasa dan kamus besar, si empunya naskah bilang supaya beberapa kata jangan diganti.Â
Ia minta tetap dipertahankan "shalat" ketimbang salat, "Ramadhan" ketimbang Ramadan yang baku, "istiqomah" ketimbang isitkamah yang baku, serta beberapa diksi lain.
Jangankan si penulis tadi. Seingat saya beberapa media massa besar pun masih menggunakan shalat dan Ramadhan ketimbang salat dan Ramadan. Tentu punya alasan dan dalil masing-masing. Kembali ke perihal tadi, bahasa itu kadang soal citarasa dan pilihan diksi saja.
Alhasil, saya pun mengikuti apa kemauan pemilik naskah meskipun agak jengah juga karena nama saya kan ditulis sebagai editor tapi beberapa diksi tidak sesuai dengan kamus.
Di dalam agama Islam, memang sarat dengan bahasa Arab. Bahasa Arab itu kemudian ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia.Â
Ini persoalannya. Memang ada tata cara untuk menyerap bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.Â
Namun, kadang tidak semua kita bisa memaknai itu dengan baik. Yang kita tahu adalah yang selama ini kita baca di media massa. Soal ini pernah saya tulis di Kompasiana dengan judul "Bagaimana Media Massa Merawat Marwah Bahasa Kita".
Oleh karena itu, teman penulis tadi tetap suka menulis shalat ketimbang salat, Ramadhan ketimbang Ramadan, istiqomah ketimbang istikamah, iqomah ketimbang ikamah, dan sebagainya.
Kita juga sering menemukan diksi Alquran yang baku yang dipakai, tetapi banyak media massa menulisnya dengan beragam jenis. Misalnya Al Qur'an, Al Quran, Al-Quran, dan Al-Qur'an.Â
Banyak sekali bukan variasi penulisan kitab suci ini? Apatah lagi mau ke diksi yang lebih tak lazim dipakai, seperti preambule tulisan ini, yakni Masjidilharam, Masjidilaksa, dan Sidratulmuntaha.
Saat Ramadan, kita juga akan sering menemukan bahkan mungkin menulis kosakata dalam konteks agama. Kita akan ketemu dengan pelaksanaan salat id yang alih-alih banyak menulisnya "ied". Atau ketemu dengan infak dan sedekah yang masih banyak orang menulisnya "infaq" dan "shodakoh".
Saban malam Ramadan kita melaksanakan salat tarawih meski ada juga yang senang dengan "teraweh" atau "taraweh".
Di sepuluh malam terakhir Ramadan, kita biasanya iktikaf untuk menunggu datangnya Lailatulkadar meski banyak di antara kita menulisnya "Lailatul Qadar".
Kamus itu sebetulnya medium instan yang diberikan pakar bahasa kepada kita untuk menunjukkan diksi yang sudah dientri ke dalam bahasa Indonesia. Jika membeli yang fisik, kamus memang tebal.Â
Tapi saya merasakan ada sensasi tersendiri jika membuka kamus fisik ketimbang merambannya di kamus daring.
Kamus itu berguna untuk mengarahkan kita agar memilih diksi yang pas, yang sesuai dengan kaidah penamaan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kamus tentu bukan milik awam.Â
Warga biasa yang hari-harinya tidak berkutat dengan literasi seperti membaca dan menulis, hakulyakin tidak mengetahui ini.
Namun, dalam konteks sekarang, media massa, narablog, dan penulis lain mesti memberikan rujukan yang benar. Karena itulah, akan lebih baik jika kamus menjadi bahan utama untuk menemukan diksi yang pas untuk dipakai.
Kamus setebal itu juga menyimpan kata yang relatif baru untuk kita gunakan. Ini akan berguna memberikan perspektif baru kepada khalayak pembaca. Tujuannya, mereka mendapatkan hal-hal yang baru dalam kebahasaan.
Ini juga bertujuan agar pemahaman kebahasaan kita kelasnya tidak semenjana (menengah atau sedang). Kita ingin ada pemahaman yang prima soal kebahasaan ini.
Isi ketiga Sumpah Pemuda soal menjunjung bahasa persatuan bukanlah hal yang mudah sekarang. Kita kini digempur dengan beragam kosakata baru baik dalam bahasa asing maupun pemangkasan bahasa kita sendiri.Â
Pembaca bisa membuka artikel yang pernah saya unggah di Kompasiana dan sempat menjadi artikel utama pilihan administrator Kompasiana. Judulnya "Mengapa Kita Gemar Memangkas Kosakata".
Kembali ke diksi agama. Ini memang sesuatu yang bakal sering kita temui.Â
Apalagi satu setengah bulan lagi insya Allah kita memasuki Ramadan. Mungkin juga Kompasiana akan membuka banyak kompetisi selama bulan suci itu. Sudah pasti kita akan menulis beberapa diksi agama ke dalam tulisan.
Oleh karena itu, kamus berguna untuk memandu kita. Saya sependapat jika ada yang mengatakan kamus bukanlah harga mati.Â
Sudah tentu saya setuju. Sebab, ini bikinan manusia yang tempatnya salah, silap, dan khilaf.
Namun, karena yang menyusunnya banyak ahli bahasa, saya mengusulkan tetap kita hargai dengan menggunakannya dalam ragam bahasa percakapan dan penulisan. Inilah barangkali pahala kita merawat dan menjaga muruah bahasa kita.
Oh iya, di tempat Anda sudah ada peringatan Isra Mikraj belum? Tempat saya sudah. Terima kasih sudah membaca secara saksama. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H