Namun, kadang tidak semua kita bisa memaknai itu dengan baik. Yang kita tahu adalah yang selama ini kita baca di media massa. Soal ini pernah saya tulis di Kompasiana dengan judul "Bagaimana Media Massa Merawat Marwah Bahasa Kita".
Oleh karena itu, teman penulis tadi tetap suka menulis shalat ketimbang salat, Ramadhan ketimbang Ramadan, istiqomah ketimbang istikamah, iqomah ketimbang ikamah, dan sebagainya.
Kita juga sering menemukan diksi Alquran yang baku yang dipakai, tetapi banyak media massa menulisnya dengan beragam jenis. Misalnya Al Qur'an, Al Quran, Al-Quran, dan Al-Qur'an.Â
Banyak sekali bukan variasi penulisan kitab suci ini? Apatah lagi mau ke diksi yang lebih tak lazim dipakai, seperti preambule tulisan ini, yakni Masjidilharam, Masjidilaksa, dan Sidratulmuntaha.
Saat Ramadan, kita juga akan sering menemukan bahkan mungkin menulis kosakata dalam konteks agama. Kita akan ketemu dengan pelaksanaan salat id yang alih-alih banyak menulisnya "ied". Atau ketemu dengan infak dan sedekah yang masih banyak orang menulisnya "infaq" dan "shodakoh".
Saban malam Ramadan kita melaksanakan salat tarawih meski ada juga yang senang dengan "teraweh" atau "taraweh".
Di sepuluh malam terakhir Ramadan, kita biasanya iktikaf untuk menunggu datangnya Lailatulkadar meski banyak di antara kita menulisnya "Lailatul Qadar".
Kamus itu sebetulnya medium instan yang diberikan pakar bahasa kepada kita untuk menunjukkan diksi yang sudah dientri ke dalam bahasa Indonesia. Jika membeli yang fisik, kamus memang tebal.Â
Tapi saya merasakan ada sensasi tersendiri jika membuka kamus fisik ketimbang merambannya di kamus daring.
Kamus itu berguna untuk mengarahkan kita agar memilih diksi yang pas, yang sesuai dengan kaidah penamaan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kamus tentu bukan milik awam.Â
Warga biasa yang hari-harinya tidak berkutat dengan literasi seperti membaca dan menulis, hakulyakin tidak mengetahui ini.