bahasa, waktu itu saya keliru mengartikan sebuah kosakata. Alhasil, ketika dipakai dalam tulisan, kalimat menjadi salah makna.
Saya pernah kena marah seorang editor waktu bekerja di koran belasan tahun lalu. Sebagai korektorWaktu itu ia memang tanya kepada saya. Apa arti kata "acuh". Saya belum buka kamus waktu itu dan dengan entengnya bilang maknanya "tidak peduli". Kesalahan memaknai diksi "acuh" itu lantaran kerap dalam pemakaian memang demikian.
Maksudnya, kosakata "acuh" itu pengertiannya negatif yakni sikap kita tidak peduli terhadap sesuatu. Napasnya itu negatif saja.
Padahal, saat membuka kamus dengan lebih saksama, saya baru tahu makna sebenarnya dari kata "acuh". Saya menduga sebagian besar pembaca artikel ini juga punya pengalaman senasib dengan saya.
Mari kita buka kamus. Acuh bermakna peduli atau mengindahkan. Nah, salah dong selama ini. Diksi "acuh" menunjukkan sikap yang memedulikan pada suatu hal. Jadi, "acuh" bukan sikap yang tidak peduli yang barangkali inilah yang dipahami banyak orang selama ini.
Pendek kata, kosakata "acuh" selama ini digunakan secara keliru oleh banyak penutur atau penulis. Dengan demikian, konteks dan makna "acuh" ini nada dan napasnya positif.
Jika digunakan dalam kalimat, ia mesti menunjukkan suatu kepedulian atau mengindahkan peraturan. Mari kita beri contoh supaya semakin jelas kala disematkan dalam kalimat.
Kepala desa itu mengacuhkan peraturan lalu lintas dengan selalu mengenakan helm setiap kali berkendara.Â
Ini contoh kalimat yang benar.
Selama ini kita kerap salah menggunakannya. Kita sering menulis dan menempatkan "acuh" pada konteks yang negatif.
Napas diksi ini bisa negatif jika kita beri tambahan menjadi "acuh tak acuh". Ini menunjukkan sikap yang kurang memedulikan sesuatu. Cuek mungkin itu istilah yang pas.
Sampai di sini kini kita bisa menempatkan "acuh" ini pada posisi yang sebenarnya. Kasihan selama ini "acuh" ditempatkan pada sesuatu yang negatif. Mari sejak sekarang kita menempatkannya dengan baik.
Masih ada kosakata lain yang kita juga acap keliru menempatkannya. Ketika kita menulis, malah menempatkan kata ini dengan posisi yang salah.
Satu kata itu adalah "geming". Jika ditambah awalan menjadi "bergeming". Coba kita pikir-pikir, siapa selama ini yang memaknai "bergeming" itu dengan sikap kita atau sesuatu benda yang bergerak-gerak?
Contoh yang sering dipakai ialah dalam berita tinju.Â
Misalnya begini.Â
Mike Tyson bergeming ketika dihajar habis-habisan oleh James Buster Douglas.Â
Si empunya tulisan mungkin ingin menunjukkan kalau Tyson---petinju legendaris itu---sempoyongan ketika dipukul.
"Bergeming" banyak dimaknai kita sebagai kondisi yang bergerak akibat tumbukan sesuatu. Misalnya lagi dalam kalimat.
Dua kali ia dipukul penjahat itu, dua kali pula ia bergeming sampai terhempas ke tanah.
Makna geming atau bergeming dalam bahasa kita sesungguhnya adalah kondisi yang tidak bergerak sedikit pun atau diam saja. Hmmm, kan, kita salah lagi.
Ya benar, "bergeming" ini menunjukkan kondisi yang diam saja. Maka, kalau kita balik ke contoh kalimat di atas, pemaknaan kita mesti diubah.
Meskipun Mike Tyson dihajar habis-habisan oleh James Buster Douglas, Si Leher Beton itu bergeming.
Maksud kalimat ini, meskipun dipukul berkali-kali, Tyson diam saja. Ia bergeming. Pas maknanya.Â
Jadi, sekarang, jangan pakai "bergeming" untuk sesuatu yang bergerak ya. Bergeming tegasnya menunjukkan posisi yang diam dan kukuh, tidak bergerak sama sekali.
Saya kasih contoh satu lagi supaya mantap.
Diterjang puting beliung, rumah di pinggir sawah itu bergeming. Nyaris tak ada kerusakan berarti yang dialami.
Masih ada satu kosakata menarik yang juga sering keliru memaknainya. Anda pernah tidak sewaktu membawa sepeda motor kemudian ada yang hendak ikut alias menumpang?
Kawan kita itu kemudian duduk di belakang. Saat membawa kawan tadi, kita yang di depan dan mengendarai sepeda motor disebut dengan "membonceng".Â
Kira-kira begitu kan selama ini yang terjadi? "Membonceng" disematkan kepada orang yang mengendarai sepeda motor.
Lantas, apakah konteks kalimat tadi benar? Mari kita buka kamus sekali lagi.
bonceng/bon*ceng/ /boncng/ v, membonceng/mem*bon*ceng/ v
1. Ikut naik (kendaraan beroda dua). Contoh kalimat. Ia naik sepeda motor dan adiknya membonceng di belakang.
2. Ikut naik tanpa membayar. Contoh kalimat. Masih banyak orang yang membonceng bus kota.
3. Ikut serta (makan, bertamasya, membaca koran, dan sebagainya) dengan tidak turut membayar atau mengeluarkan biaya.
4. Ikut-ikutan (menepuk dada, menganggap diri berjasa, mendapat nama, kedudukan, dan sebagainya).
Berboncengan/ber*bon*ceng*an/ v naik satu kendaraan bersama-sama yang satu membonceng yang lain (dengan sepeda, sepeda motor, dan sebagainya).
Memboncengkan/mem*bon*ceng*kan/ v mengikutsertakan naik (kendaraan).
Boncengan/bon*ceng*an/ n tempat untuk membonceng atau menaruh bagasi (barang yang dibawa) pada sepeda, sepeda motor, dan sebagainya.
pembonceng/pem*bon*ceng/ n 1 orang yang membonceng; 2 pihak yang ikut ambil bagian dalam suatu pergolakan (gerakan, peristiwa, dan sebagainya) yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pihak lain yang dianggap menguntungkan pihaknya; 3 orang atau golongan yang memanfaatkan kekuasaan (pengaruh, wibawa, popularitas, dan sebagainya) orang lain untuk mencapai tujuannya;
pemboncengan/pem*bon*ceng*an/ n proses, cara, perbuatan membonceng.
Nah, dari sini kita akhirnya sadar bahwa membonceng itu orang yang ada duduk di belakang. Membonceng ini unik karena kata kerja tapi pasif saja. Tinggal duduk doang dan nebeng, lazimnya juga tidak membayar karena memang nawaitunya menumpang.
Karena itu, nanti-nanti kala menulis lagi, kita sudah benar menempatkan urusan bonceng-membonceng ini dalam kalimat.
Waktu Jepang kalah dan Belanda mau masuk lagi ke Indonesia, tentara Negeri Tulip itu membonceng NICA atau Sekutu. Jadi, yang menumpang itu Belanda-nya. Sekutu atau NICA memboncengkan.
Tentu masih ada beberapa lema atau frasa dalam bahasa Indonesia yang selama ini mungkin masih keliru dan salah kita maknai. Namun, untuk artikel kali ini dicukupkan sampai di sini. Terima kasih sudah menyimak. [Adian Saputra]
Gambar pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H