Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengemis Online dan Kedermawanan Sosial Kita yang Dimoduskan

22 Januari 2023   12:27 Diperbarui: 22 Januari 2023   12:37 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengemis online. Sumber dari beautynesia.od

Kompas.com merilis bahwa Indonesia masuk daftar 10 negara paling dermawan di dunia berdasarkan laporan tahunan World Giving Index (WGI) edisi ke-10.

Laporan tersebut disusun oleh Charities Aid Foundation, yang menyelenggarakan survei untuk mengetahui perilaku dermawan masyarakat di berbagai negara.

Masih menurut Kompas.com, survei dilakukan terhadap lebih dari 1,3 juta orang di 125 negara, dan disusun berdasarkan data yang dianalisis selama 10 tahun terakhir.

Tren perilaku dermawan dilihat selama masa krisis ekonomi, pemulihan, sampai ketidakstabilan gepolitik di suatu negara tersebut.

Tiga aspek yang dinilai dari perilaku dermawan dari masyarakat suatu negara, yaitu membantu orang asing, menyumbangkan uang ke lembaga amal, dan mengikuti kegiatan amal secara sukarela.

Secara kasatmata, jumlah peminta-minta di negeri ini memang banyak. Cobalah perhatikan saban Jumat. 

Di teras dan tangga masjid, ramai pengemis. Kebanyakan di antara mereka masih berbadan sehat. Bahkan, banyak yang gemuk-gemuk seperti saya yang gempal. 

Tidak ada tanda disabilitas apa pun di tubuhnya. Namun, mereka tetap percaya diri untuk meminta-minta. 

Kadang dengan menggendong anak, entah anak kandung entah anak pinjam dari teman atau jasa penyewaan balita.

Di lampu merah juga demikian. Masih banyak peminta-mita. 

Ada yang jelas-jelas bawa kaleng sebagai identitas khas pengemis. Ada yang ngamen dengan suara pas-pasan tapi tidak pernah mengkhatamkan lagu secara utuh.

Ada juga yang melumuri badan dengan cat perak. Semua motifnya sama, meminta belas kasihan.

Di online juga demikian. Banyak modus pembuat konten yang semata ingin mendapatkan sesuatu dari warganet kemudian dikonversi ke dalam rupiah.

Memberi mestinya juga melihat siapa yang diberi. Saya tidak sepakat misalnya dengan ujaran orang yang membolehkan memberi sedekah kepada pengemis. 

Ujar-ujar mengatakan, soal kemudian orang itu menipu kita lantaran dia tak jujur bahwa dia tak mampu, itu urusan lain.

Kalau saya punya argumentasi berbeda. Berapa banyak pengemis di sekitar kita atau pembuat konten di dunia maya sana yang punya kekayaan jauh melebihi si pemberi. 

Ada banyak informasi bahwa banyak pengemis yang kekayaannya luar biasa. Itu semua didapat dari mengemis. 

Apa kita mesti terus memasok kekayaan dari sedekah, infak, dan donasi yang kita berikan? Kalau kata saya, buat apa.

Pendek kata, kalau sudah tanya motif pembuat konten itu memang mengemis atau pengemis di dunia nyata itu hanya kamuflase, cukup sampai di situ. Jangan lagi memberikan ruang kepada mereka.

Kita tak boleh membiarkan kedermawanan sosial kita kebablasan dan dimanfaatkan. Kita memberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. 

Kita mendonasikan bantuan kepada mereka yang sungguh hendak bertahan hidup.

Ketimbang meramaikan akun media sosial pengemis online, lebih baik galang dana untuk percepatan pembangunan di Cianjur usai dilanda gempa bumi. Itu jauh lebih baik ketimbang memberikan perhatian kepada pengemis-pengemis online yang makin menjengkelkan.

Kita saja kalau hendak menyalurkan zakat, infak, sedekah pasti memilih lembaga amil zakat yang tepercaya. Tak mungkin kita memberikan kepada lembaga yang belum kredibel.

Maka itu, kedermawanan kita jangan sampai dimoduskan para pengemis online itu. Kita mesti lantang untuk bersikap bahwa donasi yang kita berikan hanya untuk mereka yang membutuhkan.

Ingat tidak sebelum Didi Kempot meninggal dunia, ia membuat konser untuk membantu masyarakat kala pandemi covid-19. Dengan penampilannya di televisi, ia meraup banyak donasi. 

Konteks yang demikian menemui momentumnya. Kita juga percaya dengan penyelenggara serta pihak yang berkompeten mengalkukasi donasi yang terkumpul.

Pelajaran bagi kita adalah, pertama, jangan cepat latah untuk ikut kasih derma di daring untuk sesuatu yang tidak jelas. Kedua, manfaatkan filantropi kita untuk sesuatu yang benar-benar urgen.

Ketiga, kita mencari orang atau lembaga yang benar-benar membutuhkan dan punya kredibilitas dalam mengumpulkan donasi publik. 

Keempat, pintar-pintar kita menyaring semua informasi di media sosial sehingga kedermawanan kita tidak dimanfaatkan atau dimoduskan pengemis online. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun