Ada juga yang melumuri badan dengan cat perak. Semua motifnya sama, meminta belas kasihan.
Di online juga demikian. Banyak modus pembuat konten yang semata ingin mendapatkan sesuatu dari warganet kemudian dikonversi ke dalam rupiah.
Memberi mestinya juga melihat siapa yang diberi. Saya tidak sepakat misalnya dengan ujaran orang yang membolehkan memberi sedekah kepada pengemis.Â
Ujar-ujar mengatakan, soal kemudian orang itu menipu kita lantaran dia tak jujur bahwa dia tak mampu, itu urusan lain.
Kalau saya punya argumentasi berbeda. Berapa banyak pengemis di sekitar kita atau pembuat konten di dunia maya sana yang punya kekayaan jauh melebihi si pemberi.Â
Ada banyak informasi bahwa banyak pengemis yang kekayaannya luar biasa. Itu semua didapat dari mengemis.Â
Apa kita mesti terus memasok kekayaan dari sedekah, infak, dan donasi yang kita berikan? Kalau kata saya, buat apa.
Pendek kata, kalau sudah tanya motif pembuat konten itu memang mengemis atau pengemis di dunia nyata itu hanya kamuflase, cukup sampai di situ. Jangan lagi memberikan ruang kepada mereka.
Kita tak boleh membiarkan kedermawanan sosial kita kebablasan dan dimanfaatkan. Kita memberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.Â
Kita mendonasikan bantuan kepada mereka yang sungguh hendak bertahan hidup.
Ketimbang meramaikan akun media sosial pengemis online, lebih baik galang dana untuk percepatan pembangunan di Cianjur usai dilanda gempa bumi. Itu jauh lebih baik ketimbang memberikan perhatian kepada pengemis-pengemis online yang makin menjengkelkan.