Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rommel dan Pertempuran Terakhir di El Alamein

18 Januari 2023   14:49 Diperbarui: 18 Januari 2023   19:48 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang berbeda suasana hari ini di markas komando Jenderal Rudolfo Graziani. Ammar sudah dengar kabar itu sejak pekan lalu. 

Namun, persisnya seperti apa, ia belum paham benar. Yang jelas, sudah setahun belakangan ini ia menyiapkan semua keperluan dapur kecil khusus milik Graziani. Jenderal Italia itu tidak mau ada kebutuhan kecilnya yang tidak ada di dapur.

Namun, markas ini kelak akan kedatangan bos baru. Graziani bergeser ke tempat lain. Ammar belum mendapat tugas khusus sampai pagi ini.

Namun, ia akhirnya paham apa yang terjadi di Tripoli ini. Titik di mana seluruh personel Italia di Libya akan memulai segala sesuatu yang baru. Mungkin di bawah pimpinan yang baru pula, pikir Ammar.

Siang itu semua menjadi jelas. Divisi Bermotor Ringan V Jerman lengkap datang dengan puluhan ribu serdadu Wehrmacht atau Angkatan Daratnya. Graziani menyalami seorang jenderal dengan muka yang cerah dan selalu mengembangkan senyum. 

Jas khas perwira Jermannya berkibar-kibar. Postur orang Eropa itu tidak begitu menjulang tapi tetap tampak gagah.

Ammar baru paham orang itulah yang akan ia layani saban hari keperluan di dapurnya itu. Ia dengar jenderal Jerman itu bernama Generalleutnant (Letnan Jenderal) Erwin Rommel. Korps pasukannya dikenal dengan Deutsche Afrika Korps.

Tanggal 12 Februari 1941 menjadi hari pertama Rommel memimpin pasukan besarnya di tanah gurun Afrika. Nanti di bulan Mei barulah Divisi Berlapis Baja XV datang melengkapi pasukan yang sudah datang duluan.

Esok subuhnya Ammar sudah bersiap. Sebelum azan subuh ia sudah menjerang air panas, membuat kopi pahit kental, membuat roti lapis dua tumpuk, dan kentang rebus, serta dua telur yang dipanggang.

Usai subuh, semua keperluan Rommel sudah ia siapkan. Meja makan Rommel sudah siap untuk diduduki sang jenderal Jerman itu.

Saat hendak mengambil lap handuk di dapur, Ammar bersobok dengan Rommel. 

Ammar tertegun. Rommel mengulurkan tangan lebih dahulu. Ia menyebut nama Ammar lewat lisan aksen Jermannya yang khas.

"Ammar." Ammar mengangguk. Rommel senyum tipis.

Kesibukan markas komando sejak kedatangan Divisi Bermotor Ringan Jerman ini agak berbeda. Pasukan Italia yang biasanya mendominasi, kini memiliki kompatriot. Tugas mereka menjadi lebih ringan sejak kedatangan pasukan Rommel.

Ammar melihat mentalitas tentara Italia juga meningkat tajam. Ia juga suka bicara dengan perwira muda yang saban hari mengikuti Rommel. Ia memanggilnya Tuan Letnan Olbrich. 

Olbrich sedikit paham bahasa Arab yang dipakai di Libya ini. Meski tak fasih, Olbrich sering menjadi juru bicara dengan tokoh-tokoh lokal. Ammar sering tanya sesuatu dengan Olbrich.

Ammar tak merasa terganggu kegiatan ibadahnya sejauh ini. Ia salat lima waktu di kamar pribadinya di samping ruang khusus Rommel di markas komando ini. Yang berbeda, Rommel tak pernah lama di markas.

Segera setelah pagi memberikan taklimat, Rommel akan berangkat dengan Storch, pesawat ringannya untuk melihat mobilisasi pasukan Jerman menuju beberapa titik yang hendak dibebaskan dari pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Cunningham.

Ammar beruntung berada di markas komando ini yang memang hanya bisa diakses beberapa orang penting saja. Jika Rommel melakukan taklimat, ada belasan perwira yang hadir. Semua mencatat dengan baik apa yang dikemukakan Rommel.

Ammar juga rajin mendengarkan radio berbahasa asing yang ia ketahui maknanya sedikit-sedikit. Olbrich juga sering memberikan kabar kepadanya. 

Rommel rupanya bukan jenderal biasa. Orangnya dinamis membuatnya tak betah berlama-lama di markas. Ia ingin memastikan pasukan dan tank-tank melakukan manuver seperti yang sudah ia taklimatkan.

Tuan Letnan Olbrich pernah cerita, ada sepasukan Jerman yang masih belum bergerak. Lewat pesan radio, Rommel kemudian mengatakan, "Kalau kalian belum berangkat juga, sekarang saya akan mendarat persis di depan kalian."

Siang itu markas komando gemuruh. Radio Inggris menyiarkan sidang di kabinet dengan perdana menteri Churchill bicara soal kabar baru dari tanah Afrika. 

Churchill bilang, kini Sekutu punya lawan sebanding di Afrika. Ada jenderal Jerman yang begitu dinamis dan punya intuisi layaknya rubah padang pasir.

"Dari tempat mulia ini, izinkan saya menyebut nama orang Jerman itu. Dia adalah panglima termahsyur yang pernah dimiliki Jerman. Kita mesti menaruh respek dan kehati-hatian tinggi kepada dia. Letnan Jenderal Erwin Rommel."

Perwira Jerman yang mengikuti rapat dan mengikuti siaran itu bertepuk tangan senang. Rommel juga bertepuk tangan tapi wajahnya datar saja. 

Ia kini mesti melanjutkan invasinya untuk merebut Mechili, Tobruk, Adegabia sampai batas El Alamein.

Rommel melanjutkan apa yang sudah diajarkan mentornya Jenderal Heinz Guderian bahwa tank mesti difokuskan dan jangan dipencarkan. Sehingga lajunya sesuai dengan rencana dan menyerang kilat bak lampu blitz. 

Ini yang dalam peperangan disebut dengan blitzkrieg.

Siang itu Ammar sudah siap. Pakaiannya sudah lebih rapi. 

Ia mengenakan celana yang berbahan agak kaku dan keras. Juga kemeja berbahan kain yang lebih tebal. 

Sepatu pemberian Olbrich juga pas di kakinya. Remaja belasan tahun itu kemarin sudah minta izin kepada Olbrich. 

Olbrich belum kasih jawaban karena ia tak yakin Rommel memenuhinya.

"Ada apa, Letnan?" Rommel tanya.

"Siap, Jenderal. Ammar izin hendak ikut satu kali jenderal menaiki Storch untuk pantau pasukan kita."

Rommel melihat Ammar yang sudah siap. Ammar menunduk saja. 

Ia tak yakin. Tapi ia lega kala bahunya dirangkul Rommel dan menaiki Storch. Ini pesawat Rommel untuk memantau pasukan.

"Apakah Tuan Jenderal Guderian juga menggunakan pesawat jenis ini jika memantau pasukannya, Jenderal Rommel." Ammar berani bertanya usai Storch mengapung di angkasa.

"Tidak, Ammar. Tuan Jenderal Guderian lebih suka menggunakan kendaraan pansernya. Aku suka Storch karena bisa lebih cepat mengetahui kedudukan pasukanku."

Olbrich memberikan teropong kepada Ammar. Ammar melonjak.

"Itu Mecchili, Jenderal. Tempat orangtua saya dulu bekerja di sana. Mechili juga hendak dibebaskan pasukan kita, Jenderal Rommel?"

Rommel tak menjawab. Ia hanya senyum sembari terus memperhatikan gerakan ribuan tank dan pasukan besarnya di gurun Afrika.

Rommel punya intuisi layaknya rubah gurun. Kalangan Inggris menjulukinya The Desert Fox. Kota-kota yang semua berada di penguasaan Inggris, dibebaskan Rommel.

Ammar melihat dengan matanya sendiri betapa pasukan Jerman dan divisi berlapis baja Rommel ini gesit dan cepat dalam bergerak serta piawai mengatur titik yang hendak dilumpuhkan. 

Rommel berprinsip, tank tak boleh dipencar-pencar dalam kekuatan kecil. Ia mesti dikumpulkan kemudian menyerang dengan kecepatan tinggi dan mulai bermanuver. 

Tanah gurun Afrika yang lempung ini kokoh digilas gigi-gigi baja tank Jerman. Andaipun hujan dan liat sehingga sulit dilewati, hanya tunggu matahari naik kemudian sinarnya bakal mengeringkan dengan cepat lempung-lempung di bawahnya.

Ammar masih bersama Rommel sampai titik di mana pasokan bahan bakar, senjata, tank, dan juga pasukan Rommel mulai diluluhlantakkan angkatan udara Inggris dengan pesawat pesawat RAF-nya. Setiap pasokan menuju Benghazi dan Tripoli, dari laut dan udara, Inggris menghantamnya. 

Maklum, Jerman sedang membuka dua front perang besar.  Hitler sedang fokus untuk merebut Leningrad Uni Soviet dengan sandi "Barbarossa" sehingga nyaris semua kekuatan diberikan ke sana. Untuk Koprs Afrika-nya Rommel, hanya sebagian kecil.

Rommel tidak kalah kala berlaga di medan gurun Afrika. Ia kalah karena pasokannya banyak tak sampai ke markas utamanya.

Ammar tak lagi bersua Rommel saat jenderal besar itu jatuh sakit dan terpaksa dibawa ke Jerman untuk dirawat di sanatorium. Ia dengar kesehatan jenderal Jerman itu turun setelah prestasi fantastisnya sejauh ini menimbulkan kerugian besar di pihak Inggris.

Ammar juga dengar Rommel bahkan pernah nyaris masuk perbatasan Libya dan Mesir untuk menyerbu sampai Suez. Padahal ia hanya punya 46 tank baja tersisa. 

Lagi pula jarak pasokan logistik Jerman ribuan kilometer dari Tripoli. Tapi itulah Rommel, kedinamisannya membuatnya terus bergerak meski dengan sisa tank yang sedikit.

Lamat-lamat Ammar berdoa usai zuhur tadi semoga Tuan Jenderal Rommel diberikan kesehatan. 

Ammar tak tahu, pertempuran Rommel di El Alamein adalah yang pemungkas. Dari situ, tak ada lagi jenderal Jerman yang mampu menaklukkan Afrika. 

Rommel tak lagi bertarung dengan jenderal sekelas Cunningham, Aunchinleck, dan lainnya. Rommel bersobok dengan perwira militer Inggris yang punya kecerdasan dan seorang artileris yang andal. Orang itu sering disapa Monty. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun