Siang itu markas komando gemuruh. Radio Inggris menyiarkan sidang di kabinet dengan perdana menteri Churchill bicara soal kabar baru dari tanah Afrika.Â
Churchill bilang, kini Sekutu punya lawan sebanding di Afrika. Ada jenderal Jerman yang begitu dinamis dan punya intuisi layaknya rubah padang pasir.
"Dari tempat mulia ini, izinkan saya menyebut nama orang Jerman itu. Dia adalah panglima termahsyur yang pernah dimiliki Jerman. Kita mesti menaruh respek dan kehati-hatian tinggi kepada dia. Letnan Jenderal Erwin Rommel."
Perwira Jerman yang mengikuti rapat dan mengikuti siaran itu bertepuk tangan senang. Rommel juga bertepuk tangan tapi wajahnya datar saja.Â
Ia kini mesti melanjutkan invasinya untuk merebut Mechili, Tobruk, Adegabia sampai batas El Alamein.
Rommel melanjutkan apa yang sudah diajarkan mentornya Jenderal Heinz Guderian bahwa tank mesti difokuskan dan jangan dipencarkan. Sehingga lajunya sesuai dengan rencana dan menyerang kilat bak lampu blitz.Â
Ini yang dalam peperangan disebut dengan blitzkrieg.
Siang itu Ammar sudah siap. Pakaiannya sudah lebih rapi.Â
Ia mengenakan celana yang berbahan agak kaku dan keras. Juga kemeja berbahan kain yang lebih tebal.Â
Sepatu pemberian Olbrich juga pas di kakinya. Remaja belasan tahun itu kemarin sudah minta izin kepada Olbrich.Â
Olbrich belum kasih jawaban karena ia tak yakin Rommel memenuhinya.