Ammar tertegun. Rommel mengulurkan tangan lebih dahulu. Ia menyebut nama Ammar lewat lisan aksen Jermannya yang khas.
"Ammar." Ammar mengangguk. Rommel senyum tipis.
Kesibukan markas komando sejak kedatangan Divisi Bermotor Ringan Jerman ini agak berbeda. Pasukan Italia yang biasanya mendominasi, kini memiliki kompatriot. Tugas mereka menjadi lebih ringan sejak kedatangan pasukan Rommel.
Ammar melihat mentalitas tentara Italia juga meningkat tajam. Ia juga suka bicara dengan perwira muda yang saban hari mengikuti Rommel. Ia memanggilnya Tuan Letnan Olbrich.Â
Olbrich sedikit paham bahasa Arab yang dipakai di Libya ini. Meski tak fasih, Olbrich sering menjadi juru bicara dengan tokoh-tokoh lokal. Ammar sering tanya sesuatu dengan Olbrich.
Ammar tak merasa terganggu kegiatan ibadahnya sejauh ini. Ia salat lima waktu di kamar pribadinya di samping ruang khusus Rommel di markas komando ini. Yang berbeda, Rommel tak pernah lama di markas.
Segera setelah pagi memberikan taklimat, Rommel akan berangkat dengan Storch, pesawat ringannya untuk melihat mobilisasi pasukan Jerman menuju beberapa titik yang hendak dibebaskan dari pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Cunningham.
Ammar beruntung berada di markas komando ini yang memang hanya bisa diakses beberapa orang penting saja. Jika Rommel melakukan taklimat, ada belasan perwira yang hadir. Semua mencatat dengan baik apa yang dikemukakan Rommel.
Ammar juga rajin mendengarkan radio berbahasa asing yang ia ketahui maknanya sedikit-sedikit. Olbrich juga sering memberikan kabar kepadanya.Â
Rommel rupanya bukan jenderal biasa. Orangnya dinamis membuatnya tak betah berlama-lama di markas. Ia ingin memastikan pasukan dan tank-tank melakukan manuver seperti yang sudah ia taklimatkan.
Tuan Letnan Olbrich pernah cerita, ada sepasukan Jerman yang masih belum bergerak. Lewat pesan radio, Rommel kemudian mengatakan, "Kalau kalian belum berangkat juga, sekarang saya akan mendarat persis di depan kalian."