Kebanyakan orang kalau ketemu jurnalis menolak untuk menjadi narasumber. Padahal orang itu dinilai bisa menceritakan kronologi kejadian yang dibutuhkan jurnalis untuk menulis berita.Â
Maka, biasanya, jika ada liputan di ruang publik, ketua RT, ketua RW, lurah atau kepala desa yang akan dimintai pendapat. Soalnya, kebanyakan orang malas kasih jawaban. Mereka malas jadi narasumber.
Misalnya ada kerja bakti warga. Sebetulnya peristiwa biasa kan. Tidak ada sangkut paut dengan kasus atau sesuatu yang berbasis bad news.Â
Tapi tetap saja warga yang mau diwawancarai menolak. Mereka malah minta jurnalis kontak ketua RT atau pamong setempat. Ok deh kalau begitu.
Di lingkup pemerintahan juga acap demikian. Ada kepala daerah yang marah kalau baca berita dengan narasumber kepala dinasnya. Padahal isinya biasa saja dan sudah jadi pengetahuan publik.Â
Namun, tetap saja kepala daerah geram. Dia mau kalau kepala dinasnya diwawancarai, itu mengatasnamakan kepala daerah. Masak sih hanya untuk urusan teknis mesti juga mencantumkan kepala daerah. Apa guna ada kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, dan lainnya. Ampun deh.
Keempat, takut kena pasal hukum
Ada juga narasumber yang tidak berani diwawancarai karena enggak berurusan dengan hukum. Padahal yang mau ditulis sebetulnya persoalan kemasyarakatan. Misalnya, ada penangkapan pengedar narkoba di suatu kampung.Â
Tetangga pengedar ini tahu persis kejadiannya sehingga layak menjadi narasumber. Tapi karena ia sungkan menjadi narasumber, alhasil jurnalis mesti cari narasumber lain. Orang tadi khawatir akan ada efek hukum dari penjelasannya kepada media massa.
Begitulah empat hal yang saya temui di masyarakat, mengapa orang enggan berurusan dengan jurnalis.Â
Kalau teman-teman punya pendapat lain, silakan kabari saya di kolom komentar. Besok-besok saya tulis lagi. Jumat, 6 Januari 2023. Salam hangat dari Bandar Lampung. [Adian Saputra]