Bulan lalu saya datang meliput kegiatan bursa kerja di sebuah kampus negeri. Panitia yang mengundang saya. Kebetulan kakak sepupu sendiri.
Saya kemudian berkeliling ke beberapa stan. Ada satu stan perusahaan nasional. Ramai sekali di sana. Pelamar menyemut di situ. Saya tertarik bikin satu berita soal itu.
Saya kemudian mendekati petugasnya. Tentu karyawan perusahaan yang bersangkutan. Saya izin hendak melakukan wawancara.Â
Karyawati yang cantik itu rikuh. Sepertinya ia tidak siap untuk saya wartakan.
"Mas-nya dari mana ya? Oh, wartawan ya. Saya enggak bisa jawab lo, Mas, saya hanya jaga."
Saya kemudian yakinkan dia, tulisan ini tujuannya baik. Saya hanya hendak tanya respons dia karena stan perusahaannya ramai peminat. Dia pun mengangguk. Saya balik tanya?
"Kenapa, Mbak, takut ditanya macam-macam ya." Karyawati itu tersenyum. Manis.
Kejadian ini tidak sekali-dua. Sering bahkan. Kadang orang ada penghalang untuk mau diwawancarai wartawan.Â
Saya kemudian survei kecil-kecilan. Mengapa orang ada kesan enggan berurusan sama wartawan.
Kesatu, takut ditanya macam-macam
Tugas jurnalis itu memang bertanya. Dia tanya karena hendak menulis satu peristiwa atau isu tertentu yang awalnya dia tidak tahu. Jurnalis butuh narasumber yang bisa memberitahukan informasi itu untuk kemudian disebarluaskan kepada publik.
Jadi, soal wartawan ini dan itu ya sudah kerjaannya memang. Aneh juga kalau ada jurnalis liputan tapi malah tidak bertanya.
Jurnalis yang baik tentu tidak tanya sesuatu yang tidak konteks. Ia akan tanya sesuai dengan konteks. Prinsipnya, ia mesti tanya beberapa hal sehingga persoalan yang hendak diwartakan bisa diperoleh datanya dengan baik.
Kedua, takut dimintai duit
Beberapa orang enggan bertemu jurnalis karena pemahaman lazim di masyarakat, kalau ketemu jurnalis mesti kasih uang. Kok, kayak pengemis ya, hahaha.
Mungkin ada yang demikian, mungkin juga banyak. Apalagi di daerah yang letaknya agak jauh dari pusat ibu kota provinsi atau kabupaten/kota.
Biasanya para kepala sekolah yang tidak begitu respek ketemu orang yang mengaku-ngaku jurnalis. Padahal boleh jadi tidak semua. Biasanya sih kelihatan juga dari tampang dan penampilannya.
Kadang ada kekhasan jurnalis yang abal-abal. Ia hanya mengaku wartawan, bawa koran selembar, dan meminta konfirmasi berita. Biasanya sih soal kasus atau semacam temuan begitu.
Alhasil, ini bikin orang malas bertemu dengan jurnalis. Yang kasihan jurnalis betulan yang memang hanya berharap informasi tanpa ada kode minta duit.
Biasanya kalau jelang Lebaran, pejabat atau anggota DPRD setempat sudah tak ada di kantornya. Soalnya, mereka pening banyak dimintai orang oleh mereka yang mengaku dirinya wartawan.
Kalau saya insyaallah tidak demikian. Masak jurnalis sekeren, seganteng, dan secerdas saya ini punya sikap dan perilaku demikian. Huek. Hahaha.
Ketiga, tidak berani jadi narasumber
Kebanyakan orang kalau ketemu jurnalis menolak untuk menjadi narasumber. Padahal orang itu dinilai bisa menceritakan kronologi kejadian yang dibutuhkan jurnalis untuk menulis berita.Â
Maka, biasanya, jika ada liputan di ruang publik, ketua RT, ketua RW, lurah atau kepala desa yang akan dimintai pendapat. Soalnya, kebanyakan orang malas kasih jawaban. Mereka malas jadi narasumber.
Misalnya ada kerja bakti warga. Sebetulnya peristiwa biasa kan. Tidak ada sangkut paut dengan kasus atau sesuatu yang berbasis bad news.Â
Tapi tetap saja warga yang mau diwawancarai menolak. Mereka malah minta jurnalis kontak ketua RT atau pamong setempat. Ok deh kalau begitu.
Di lingkup pemerintahan juga acap demikian. Ada kepala daerah yang marah kalau baca berita dengan narasumber kepala dinasnya. Padahal isinya biasa saja dan sudah jadi pengetahuan publik.Â
Namun, tetap saja kepala daerah geram. Dia mau kalau kepala dinasnya diwawancarai, itu mengatasnamakan kepala daerah. Masak sih hanya untuk urusan teknis mesti juga mencantumkan kepala daerah. Apa guna ada kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, dan lainnya. Ampun deh.
Keempat, takut kena pasal hukum
Ada juga narasumber yang tidak berani diwawancarai karena enggak berurusan dengan hukum. Padahal yang mau ditulis sebetulnya persoalan kemasyarakatan. Misalnya, ada penangkapan pengedar narkoba di suatu kampung.Â
Tetangga pengedar ini tahu persis kejadiannya sehingga layak menjadi narasumber. Tapi karena ia sungkan menjadi narasumber, alhasil jurnalis mesti cari narasumber lain. Orang tadi khawatir akan ada efek hukum dari penjelasannya kepada media massa.
Begitulah empat hal yang saya temui di masyarakat, mengapa orang enggan berurusan dengan jurnalis.Â
Kalau teman-teman punya pendapat lain, silakan kabari saya di kolom komentar. Besok-besok saya tulis lagi. Jumat, 6 Januari 2023. Salam hangat dari Bandar Lampung. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H