Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bagaimana Media Massa Merawat Marwah Bahasa Kita?

27 Desember 2022   08:37 Diperbarui: 22 Januari 2023   12:56 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang sekarang lebih suka pakai diksi "apresiasi" ketimbang memuji. Padahal asal muasal "apresiasi" adalah dari kata negerinya mendiang Ratu Elisabeth: apreciate.

Belum lagi memadankan kata asing atau frasanya ke dalam bahasa Indonesia. Media massa kita terbilang sukses ketika memopulerkan gawai untuk gadget, petahana untuk incumbent, daring (dalam jaringan) untuk online, luring (luar jaringan) untuk offline, unggah untuk upload, unduh untuk download, dan banyak lainnya.

Memang, sih, tidak semua kata atau istilah dalam bahasa asing itu, mudah ditemukan bahasa Indonesianya yang pas. Garden atau park dalam bahasa Inggris tentu punya makna yang beda meski dalam bahasa kita keduanya dipukul rata dengan "taman".

Media massa juga menurut saya belum terlalu sukses memopulerkan lokakarya sebagai pengganti untuk workshop dan peluncuran untuk launching. Hampir di mana tempat ada peluncuran produk baru, hakulyakin pakai diksi launching. Bahkan, pernah ada spanduk besar tulisannya "louncing". Alamak.

Itu sekadar contoh. Kembali ke esensi tulisan, media massa punya peran yang penting untuk merawat dan menjaga marwah---muruah---bahasa kita. 

Media massa adalah kamus berjalan tempat orang belajar kosakata baru. Jutaan kosakata di dalam kamus kita akan "berbunyi" jika dipakai dalam berita dan artikel lain di media massa.

Kalau media massanya terampil dan kreatif dalam menyajikan kata baru yang sudah terentri dalam kamus, publik bisa makin teredukasi. Jangan malah ikut-ikutan yang salah. Ikut-ikutan yang salah kadang dibikin oleh entitas negara juga.

Saya ingat dulu pemilu tahun 2009 kita tidak mencoblos kertas suara. Kita dulu menconteng atau mencentang dengan alat tulis. 

Alih-alih menggunakan dua diksi itu, yakni mencentang atau menconteng, yang artinya memberikan tanda di kertas suara, KPU malah memakai kata "contreng". 

Kata tak baku itu, karena lazim, dan dipakai dalam lembaga resmi negara, akhirnya masuk basis data bahasa kita juga. Jadilah akhirnya "contreng" terekam dalam bahasa kita, padahal, ya sudah ada yang baku, yakni centang dan conteng. Salah tapi diterima. Sulit diterima akal.

Sekarang ada juga diksi "projek" di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Padahal kita punya proyek yang baku. Entahlah kenapa proyek tidak dipakai. Mungkin khawatir agak gimana gitu kalau pakai kata proyek yang mungkin cenderung ke arah pembangunan fisik dan rawan kecurangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun