Tanggal 30 September 2004 saya mulai bekerja di koran Lampung Post. Surat kabar ini berada di dalam Media Grup. Koran ini satu rumah besar dengan MetroTV dan koran nasional Media Indonesia milik Surya Paloh yang sekarang ketua umum Partai Nasdem.
Sebelum kerja di sini, sejak 1999, saya memang sudah rajin menulis opini, cerita anak, resensi buku, dan beberapa artikel lain sebagai penulis lepas di Lampung Post dan beberapa media massa cetak lainnya. Posisi saya kala itu masih mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (Unila).
Awal bekerja saya ditempatkan di korektor bahasa. Meski saya bukan sarjana bahasa, lima tahun pertama menjadi korektor bahasa membuat saya paham dengan perihal ini.Â
Meski tak fasih-fasih amat soal teori, pada praktik penulisan ya alhamdulillah lumayan. Ditambah lagi pengalaman empat tahun sebelumnya menjadi penulis lepas.
Korektor bahasa punya tugas memperbaiki naskah kiriman redaktur. Naskah yang dibuat reporter masuk ke meja redaktur kemudian mengalami penyuntingan. Idealnya sih, hasil editan redaktur itu sudah oke punya. Istilah kami di media massa, press claar.
Namun, media massa arus utama, dahulu ya, mungkin sekarang sudah agak berubah, punya bagian untuk melakukan penyempurnaan dalam bahasa.Â
Ada yang disebut redaktur bahasa, penyelaras bahasa, atau seperti di tempat kami, korektor bahasa. Seorang teman berceletuk, korektor itu akronim dari ngoreksi yang kotor-kotor. Pikir-pikir, benar juga.
Tugas korektor bahasa ya merapikan semua. Ia adalah orang terakhir yang menjaga tata bahasa berita atau artikel lain di koran. Mulai dari judul dilihat, apakah logikanya oke atau tidak.Â
Apakah konjungsinya tepat atau belum. Apakah pilihan diksinya oke atau tidak. Yang utama, apakah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia atau tidak. Itu masih ditambah lagi, mesti enak dibaca meski taat pada pakem bahasa yang ada.
Kalau sekarang korektor bahasa masih ada, jelas makin sulit kerjanya. Kenapa demikian? Sebab, masukan dari bahasa asing yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia makin banyak.Â
Orang sekarang lebih suka pakai diksi "apresiasi" ketimbang memuji. Padahal asal muasal "apresiasi" adalah dari kata negerinya mendiang Ratu Elisabeth: apreciate.
Belum lagi memadankan kata asing atau frasanya ke dalam bahasa Indonesia. Media massa kita terbilang sukses ketika memopulerkan gawai untuk gadget, petahana untuk incumbent, daring (dalam jaringan) untuk online, luring (luar jaringan) untuk offline, unggah untuk upload, unduh untuk download, dan banyak lainnya.
Memang, sih, tidak semua kata atau istilah dalam bahasa asing itu, mudah ditemukan bahasa Indonesianya yang pas. Garden atau park dalam bahasa Inggris tentu punya makna yang beda meski dalam bahasa kita keduanya dipukul rata dengan "taman".
Media massa juga menurut saya belum terlalu sukses memopulerkan lokakarya sebagai pengganti untuk workshop dan peluncuran untuk launching. Hampir di mana tempat ada peluncuran produk baru, hakulyakin pakai diksi launching. Bahkan, pernah ada spanduk besar tulisannya "louncing". Alamak.
Itu sekadar contoh. Kembali ke esensi tulisan, media massa punya peran yang penting untuk merawat dan menjaga marwah---muruah---bahasa kita.Â
Media massa adalah kamus berjalan tempat orang belajar kosakata baru. Jutaan kosakata di dalam kamus kita akan "berbunyi" jika dipakai dalam berita dan artikel lain di media massa.
Kalau media massanya terampil dan kreatif dalam menyajikan kata baru yang sudah terentri dalam kamus, publik bisa makin teredukasi. Jangan malah ikut-ikutan yang salah. Ikut-ikutan yang salah kadang dibikin oleh entitas negara juga.
Saya ingat dulu pemilu tahun 2009 kita tidak mencoblos kertas suara. Kita dulu menconteng atau mencentang dengan alat tulis.Â
Alih-alih menggunakan dua diksi itu, yakni mencentang atau menconteng, yang artinya memberikan tanda di kertas suara, KPU malah memakai kata "contreng".Â
Kata tak baku itu, karena lazim, dan dipakai dalam lembaga resmi negara, akhirnya masuk basis data bahasa kita juga. Jadilah akhirnya "contreng" terekam dalam bahasa kita, padahal, ya sudah ada yang baku, yakni centang dan conteng. Salah tapi diterima. Sulit diterima akal.
Sekarang ada juga diksi "projek" di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Padahal kita punya proyek yang baku. Entahlah kenapa proyek tidak dipakai. Mungkin khawatir agak gimana gitu kalau pakai kata proyek yang mungkin cenderung ke arah pembangunan fisik dan rawan kecurangan.
Media massa mestinya merawat itu dengan tetap mengembalikan kata sesuai dengan fungsinya. Toh ada Kantor Bahasa di tiap provinsi sebagai mitra untuk menjaga dan merawat muruah bahasa kita, jangan sampai muruah jadi murah lantaran gampang banget ikut yang salah.
Produk jurnalistik media massa akan menjadi pembelajaran untuk kita tertib berbahasa. Di media sosial kita punya tokoh yang meski basisnya bukan sarjana bahasa tapi tekun menyampaikan soal itu. Namanya Ivan Lanin. Akun Instagramnya sarat dengan kebahasaan.Â
Uda Ivan, dipanggil begitu karena dia orang Minang, piawai dalam mengedukasi milenial soal bahasa. Kadang contohnya menggelitik karena lekat dengan dunia anak muda zaman sekarang.
Media massa arus utama daring sekarang pegang peranan penting. Sebab, dari konten media jenis inilah publik bisa mengetahui kata-kata baru yang baku dan bisa digunakan dalam ragam percakapan keseharian. Media massa mesti mengejawantahkan program untuk menata kembali ketertiban berbahasa kita dengan produk jurnalistik mereka.Â
Maka itu, semua orang yang berkelindan kerjaan dengan ranah ini mesti punya kemampuan berbahasa yang lumayan.Â
Tak mesti ia lulusan bahasa Indonesia. Siapa pun bisa. Apalagi pekerjaan harian kita memang urusannya soal bahasa. Orang media fardu ain untuk mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam produk jurnalistiknya.
Oh iya, bagusnya juga, media massa punya kesadaran itu di luar teknis keredaksian. Kalau di kantor ada dapur, ya kasih saja papan kecil tulisannya "dapur", jangan tulis dengan pantry.
Kalau di kantor redaksi ada perpustakaan, ya pakai saja papan kecil di depan pintu bertuliskan perpustakaan jangan pula library.Â
Jika ada bagian yang urusannya soal karyawan dan hal ihwal mengenai itu, tulis saja di depan pintunya "pengembangan sumber daya manusia" jangan HRD (human resources development). Miris juga kalau di konten jurnalistiknya oke punya, di luar keredaksian masih nginggris.
Apalagi kalau punya acara nonredaksi. Misalnya ada peluncuran kanal baru, ya simpel saja tulis atau sebut peluncuran, jangan latah pakai launching.Â
Kalau mengadakan semacam festival atau pesta yang ramai dan mengundang orang luar, ya bisa pakai festival, pesta kebun, pekan raya jajanan pasar, atau yang sejenisnya.Â
Jangan juga pakai garden fest, holiday party, atau yang sebangsanya. Ini nanti jadi ironi, menggaungkan supaya pakai bahasa Indonesia yang baik, eh, malahan merusak marwah bahasa sendiri.
Kita tetap punya harapan dengan media massa dalam konteks merawat bahasa. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Termasuk para narablog di Kompasiana ini.Â
Mudah-mudahan makin terampil menggunakan bahasa Indonesia sehingga kita semua makin mencintainya. Asal piawai menggunakannya, tetap pula enak dibaca dan gagah saat ditulis atau diucapkan. Salam hangat dari Bandar Lampung. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H