Maka itu, setiap koran yang masih terbit, punya strategi tertentu. Misal dengan menipiskan eksemplar. Kalau dulu gagah 20 halaman, sekarang 8 halaman jadilah. Kemudian mengaktifkan akun media sosialnya. Di sini orang bisa baca gratis. Namun, kalau follower-nya banyak juga lumayan bisa dilirik untuk endorse berita berbayar.
Adaptasi itu ternyata memang penting. Tidak sekadar adaptasi terhadap perubahan iklim sebagaimana isu sekarang, tapi juga adaptasi terhadap teknologi. Media massa berbasis cetak yang masih eksis juga banyak. Meski demikian, jumlah pembacanya memang tidak kayak dulu.
Asal punya keunggulan komparatif, ya tentu masih dicari pembaca. Sampai sekarang saya masih baca majalah Tempo dan koran Tempo. Tapi versi daringnya.
Kekhasan Tempo tentu pada berita yang enggak ada di media lain. Masih berani investigas sehingga pembaca mendapatkan hal baru. Itu sebab Tempo masih bertahan. Apalagi waktu angkat soal ACT, wah kayaknya nambah pelanggan baru tuh saking orang mau pengin baca.
Saya mau cerita juga soal koran Tribun, khususnya di Lampung. Sebab, banyak teman di sana. Dan banyak sisi positifnya. Cuma berhubung ini tulisan sudah berkelewahan, saya akhiri sampai noktah ini.
Terima kasih.
[ADIAN SAPUTRA]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H