Akhir tahun nanti koran Republika berhenti beroperasi. Tidak ada lagi koran dalam bentuk fisik yang bisa kita temui.
Saya terakhir beli Republika sehari setelah aksi damai nan akbar 212 di Monas. Saya membandingkan foto dan berita utama dua koran besar tentang aksi damai itu, Kompas dan Republika.
Dulu waktu masih sering jalan ke Jakarta, mahasiswa dan pekerja banyak membaca Republika selain Kompas. Saat menunggu bus, mereka membuka lembar demi lembar Republika.
Waktu reformasi, banyak pula mahasiswa yang beli Republika. Saya sering melihat beberapa mahasiswa di Universitas Lampung membaca koran itu saat menunggu waktu salat di Masjid Al Wasii.
Sayangnya, akhir tahun ini koran yang sering disebut sebagai media massanya umat Islam itu akan berhenti. Satu lagi koran tutup usia. Beberapa di antaranya sudah duluan.
Bagaimana kemudian nasib koran lain? Yang menarik, bagaimana nasib koran-koran lokal. Saya hendak sekelumit menulis ini. Khususnya koran lokal di Lampung. Sekalian menulis lagi untuk Kompasiana. Sayang sudah dikasih centang biru sama admin bertahun-tahun tapi lama tak menulis di blog "keroyokan" ini.
Koran di daerah, wabilkhusus di Lampung, juga mengalami hal yang sama. Pasti ada pengaruh dengan digitalisasi. Ketika gawai menjadi medium mencari berita dengan perantara internet, sesungguhnya koran makin sulit bersaing.
Jika dahulu masih banyak pedagang koran eceran di lampu merah, sekarang makin sedikit. Koran hanya ditemui di tempat yang terbatas. Agen koran dan majalah juga sudah sepi pelanggan. Saya melihatnya sejak 2015 koran memang makin sulit untuk hidup.
Selain alasan utama adanya media massa baru ber-platform internet, ongkos cetak koran memang besar. Maka itu, sekarang, beberapa koran semenjana, tidak bisa terbit harian sampai Sabtu. Paling banter sampai Jumat. Itu pun tidak Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Kadang diseling dua hari. Atau paling lumayan kayak puasa sunah, Senin-Kamis.
Saya pernah bikin tabloid untuk keperluan tertentu. Ongkosnya memang gede. Per seribu eksemplar, tiga kali terbit, masih dikasih harga Rp1 juta oleh percetakan. Tapi pas mau cetak keempat kali, harga naik Rp1,4 juta. Itu belum ditambah dengan honor setter atau layouter.
Masih lumayan kalau sebelum terbit, ada halaman yang bisa dijual. Misalnya ada yang tertarik pasang berita iklan dengan naskah dan foto atau sering disebut advertorial. Bisa jual satu halaman Rp2,5 juta sudah nutup ongkos produksi.
Kalau dijual, tentu sulit berharap seribu eksemplar ludes. Memang, sih, ditulis juga harganya di pojok kanan, Rp3.000. Cuma itu sekadae syarat saja supaya ada tertera harga.
Namun, buat koran daerah, memang menjual halaman untuk bertahan atau berharap ada sedikit cuan, adalah strategi utamanya.
Banyak pengelola koran medioker yang saya tanya kenapa tidak rutin terbit. Jawaban mereka seragam. Kalau ada iklan masuk baru cetak. Kolom iklan pun di dalam lembar naskahnya sedikit.
Koran adalah media massa. Ia memang industri, tapi dulu. Bahwa perusahaan bikin koran untuk cari untung, itu benar.
Namun, namanya media massa, juga punya misi yang mulia. Misalnya dengan menjadi penyuara kepentingan rakyat yang selama ini tidak diperhatikan.Â
Itulah sebabnya, banyak orang merasa tidak afdal suara mereka kalau belum dikorankan. Padahal sekarang, ekstrem ngomong, siapa yang baca koran? Analogi simpelnya barangkali, Republika yang koran nasional aja tutup, apatah lagi koran daerah.
Koran daerah masih bertahan umumnya karena masih ada kerja sama pemberitaan dengan sejumlah pihak. Misalnya dengan pemerintah daerah.
Namun, itu sekarang sulit. Harganya tidak seperti sebelum era media massa daring marak. Alokasi belanja iklan pemerintah daerah sudah mengakomodasi media daring atau online. Koran masih sih, hanya saja nominalnya enggak segede dulu.
Persepsi orang soal tak afdal kalau belum dikorankan, juga sekarang rada bergeser. Sudah ada media online. Bahkan, ada akun media sosial yang menjadi rujukan media arus utama. Dulu ukuran orang kalau belum masuk koran itu belum marem. Kalau sekarang ya sudah tidak begitu lagi.
Jadi, koran di daerah masih ada kans bertahan dengan meminimalkan tenaga kerjanya. Sebab, kalau masih dengan kru yang banyak, duit yang masuk enggak bakalan cukup.
Maka itu, setiap koran yang masih terbit, punya strategi tertentu. Misal dengan menipiskan eksemplar. Kalau dulu gagah 20 halaman, sekarang 8 halaman jadilah. Kemudian mengaktifkan akun media sosialnya. Di sini orang bisa baca gratis. Namun, kalau follower-nya banyak juga lumayan bisa dilirik untuk endorse berita berbayar.
Adaptasi itu ternyata memang penting. Tidak sekadar adaptasi terhadap perubahan iklim sebagaimana isu sekarang, tapi juga adaptasi terhadap teknologi. Media massa berbasis cetak yang masih eksis juga banyak. Meski demikian, jumlah pembacanya memang tidak kayak dulu.
Asal punya keunggulan komparatif, ya tentu masih dicari pembaca. Sampai sekarang saya masih baca majalah Tempo dan koran Tempo. Tapi versi daringnya.
Kekhasan Tempo tentu pada berita yang enggak ada di media lain. Masih berani investigas sehingga pembaca mendapatkan hal baru. Itu sebab Tempo masih bertahan. Apalagi waktu angkat soal ACT, wah kayaknya nambah pelanggan baru tuh saking orang mau pengin baca.
Saya mau cerita juga soal koran Tribun, khususnya di Lampung. Sebab, banyak teman di sana. Dan banyak sisi positifnya. Cuma berhubung ini tulisan sudah berkelewahan, saya akhiri sampai noktah ini.
Terima kasih.
[ADIAN SAPUTRA]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H