Masih lumayan kalau sebelum terbit, ada halaman yang bisa dijual. Misalnya ada yang tertarik pasang berita iklan dengan naskah dan foto atau sering disebut advertorial. Bisa jual satu halaman Rp2,5 juta sudah nutup ongkos produksi.
Kalau dijual, tentu sulit berharap seribu eksemplar ludes. Memang, sih, ditulis juga harganya di pojok kanan, Rp3.000. Cuma itu sekadae syarat saja supaya ada tertera harga.
Namun, buat koran daerah, memang menjual halaman untuk bertahan atau berharap ada sedikit cuan, adalah strategi utamanya.
Banyak pengelola koran medioker yang saya tanya kenapa tidak rutin terbit. Jawaban mereka seragam. Kalau ada iklan masuk baru cetak. Kolom iklan pun di dalam lembar naskahnya sedikit.
Koran adalah media massa. Ia memang industri, tapi dulu. Bahwa perusahaan bikin koran untuk cari untung, itu benar.
Namun, namanya media massa, juga punya misi yang mulia. Misalnya dengan menjadi penyuara kepentingan rakyat yang selama ini tidak diperhatikan.Â
Itulah sebabnya, banyak orang merasa tidak afdal suara mereka kalau belum dikorankan. Padahal sekarang, ekstrem ngomong, siapa yang baca koran? Analogi simpelnya barangkali, Republika yang koran nasional aja tutup, apatah lagi koran daerah.
Koran daerah masih bertahan umumnya karena masih ada kerja sama pemberitaan dengan sejumlah pihak. Misalnya dengan pemerintah daerah.
Namun, itu sekarang sulit. Harganya tidak seperti sebelum era media massa daring marak. Alokasi belanja iklan pemerintah daerah sudah mengakomodasi media daring atau online. Koran masih sih, hanya saja nominalnya enggak segede dulu.
Persepsi orang soal tak afdal kalau belum dikorankan, juga sekarang rada bergeser. Sudah ada media online. Bahkan, ada akun media sosial yang menjadi rujukan media arus utama. Dulu ukuran orang kalau belum masuk koran itu belum marem. Kalau sekarang ya sudah tidak begitu lagi.
Jadi, koran di daerah masih ada kans bertahan dengan meminimalkan tenaga kerjanya. Sebab, kalau masih dengan kru yang banyak, duit yang masuk enggak bakalan cukup.