Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Darojat-Susi Bikin “Pesantren” Kikis Stigma Kampung dari Maksiat ke Sholih-sholihat

30 Januari 2016   08:41 Diperbarui: 30 Januari 2016   19:39 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Darojat Gustian, pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al Faatih"][/caption]Saya mengenal Susilowati saat masih bekerja di Harian Umum Lampung Post sekitar tahun 2007. Waktu itu saya masih di Kompartemen Bahasa harian ini. Kami hanya berdua waktu itu di kompartemen yang urusannya melulu soal bahasa. Mengedit naskah dari para redaktur untuk dikirim ke bagian tata letak. Karena halaman ada 24, tentu bukan pekerjaan gampang buat saya dan seorang rekan, Isnovan Djamaluddin.

Akhirnya kami meminta tambahan tenaga kerja baru. Salah seorang yang diterima adalah Susilowati. Ia kami kenal sebagai cerpenis dengan nama pena SW Teofani. Alumnus IAIN Raden Intan ini punya sisi religiositas yang tinggi. Saban azan berkumandang dari corong pengeras suara di musala kami, ia selalu mengingatkan. “Azan, Bang. Salat dulu,” kata dia.

Ketika anak pertama saya lahir, Susi, demikian ia biasa disapa, ikut menjenguk. Ia membawakan buah tangan untuk orok yang baru lahir itu.

Susi kemudian menikah dengan Darojat Gustian. Darojat lulusan Institut Dirosat Islamiyah Al Amien di Prenduan, Sumenep, Madura.

Suatu waktu, Susi bercerita ia ingin membuat taman pendidikan Islam bersama suaminya. Ia ingin semuanya gratis. Yang penting, anak-anak mau ikut ngaji di lembaga yang akan ia dirikan bersama suaminya.

Tahun 2014, saya mundur dari Lampung Post. Susi sudah pindah ke Desk Minggu. Cerita soal lembaga pendidikan Islam itu menguap. Susi pun belum diizinkan memperoleh anak. Anak pertama yang mestinya ia asuh, wafat dalam kandungan. Padahal, sudah masuk hari lahiran. Susi tak menyangka, janin dalam rahimnya yang tak aktif bergerak beberapa hari itu, sudah “diminta” Allah kembali. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Bayi itu dinamakan Al Faatih.

Beberapa waktu lalu, saya main ke rumah Susi dan Darojat di Jalan Cendana I Gang Mawar RT 11 B, Jatimulyo, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan. Ini sebetulnya silaturahmi saya yang kedua setelah tahun lalu pernah main ke sini. Selain untuk mereportase soal lembaga yang pasangan ini dirikan, silaturahmi adalah yang utama.

Susi dan Darojat sepakat menamai lembaga ini dengan Al Faatih. Lengkapnya Pusat Pendidikan Islam Al faatih (TKA/TPA/MTA).

TKA itu Taman Kanak-Kanak Alquran, TPA itu Taman Pendidikan Alquran, dan MTA itu Majelis Taklim Alquran. Darojat dan Susi memfokuskan pada bacaan dan hafalan Alquran dengan makhrojul huruf yang benar. Juga pada bahasa Arab di mana Darojat punya kemampuan memadai untuk itu.

“Keras” Mendidik dan Jampi-Jampi Pakde

Darojat rupanya punya konsep sendiri dalam mendidik anak asuhnya untuk mampu membaca dan menghafal Alquran sesuai dengan tajwid yang benar. Maka, sebelum anak-anak itu diterima, ia melakukan sejumlah tes terlebih dahulu. Meski usia anak mungkin bisa masuk TPA di tempat lain, jika hasil tesnya harus masuk TPA dulu, wali murid harus mau.

“Saya sengaja demikian, Bang. Karena, saya cukup paham soal ini. TKA dan TPA ada sisi perbedaan. Maka, kalau dari awal tesnya enggak sesuai, mesti ikut aturan di sini. Kalau mesti TKA dulu ya harus. Kalau orangtuanya keberatan, kami tak memaksa,” kata Darojat yang biasa disapa Pakde oleh para muridnya.

[caption caption="Ruang belajar di lantai atas yang baru dibangun Darojat dan Susi. "]

[/caption]Saat pelaksanaan pun, Darojat ketat. Untuk yang ngaji pagi, sebelum jam tujuh sudah ada di tempat. Kemudian duha bareng lalu mengaji. Yang jatah ngaji sore, waktunya jam tiga petang. Sebelum jam tiga petang, semua mesti hadir lalu salat asar berjamaah di musala dekat “padepokan” ini.

Awalnya, banyak orangtua yang tak setuju dengan cara yang demikian disiplin dari Darojat dan Susi. Tapi mereka sungkan bicara langsung dengan “suhu mengaji” itu.

“Aku kadang, Bang, yang jadi bahan curhat ibu-ibu. Ngomogin Pakde kok tegas amat, kan masih anak-anak. Banyak akhirnya yang enggak ngebolehin lagi anaknya ngaji di sini,” cerita Susi kepada saya.

Darojat bergeming. Mau mendidik anak yang saleh, pandai membaca dan menghafal Alquran memang demikian caranya. Darojat yakin dengan langkah yang ia siapkan. Ia adalah anak pondok yang lama mengaji. Ia tahu pula konsep dan tata cara pelaksanaan di lapangan.

“Saya mau serius di sini, Bang. Anak-anak mesti disiplin sedari dini. Termasuk untuk ngaji. Lagipula ini untuk kebaikan mereka semua,” lanjut Darojat.

Lambat laun, nama Al Faatih menjadi harum dan perbincangan. Anak-anak terbiasa disiplin mengaji. Anak-anak bahkan “marah” pada ibu dan ayahnya jika sampai tidak mau mengantar ke Al Faatih. Di rumah, salat lima waktu mereka terjaga dengan baik: berjamaah di masjid dan tepat waktu.

“Orangtua yang dahulu tidak membolehkan anaknya ngaji di sini, akhirnya balik. Kami terima dengan senang hati. Ibu-ibu kemudian pada tanya, si Pakde itu apa jampi-jampinya sampai anak-anak suka banget salat dan mengaji di rumah. Termasuk hafalannya banyak banget,” kata Susi sambil tertawa.

“Kalau rajin, sekurang-kurangnya setahun dapat hafal 1 juz. Ini malah ada yang mau dua juz. Untuk ukuran lembaga kecil seperti kami, prestasi itu alhamdulillah,” ujar Darojat.

Mem-Pesantrenkan Masyarakat, Memasyarakatkan Pesantren

Susi bercerita, ide membuat lembaga pendidikan Islam ini memang sudah lama ia impikan. Bahkan, sejak Susi masih gadis. Begitu menemukan jodoh, klop. Ibarat kata: botol ketemu tutup. Susi berjodoh dengan Darojat yang lulusan pesantren dan juga sarjana.

“Di Al Amien itu, konsep pesantrennya menyatu dengan masyarakat. Tidak terpisah. Jadi, kontribusi para santri kelihatan betul di masyarakat. Dan itu memang sudah konsepnya begitu. Kami akhirnya terbiasa dengan suasana perdesaan. Dan masyarakat pun akrab dengan kegiatan pesantren. Kami ingin yang seperti itu,” tutur Darojat.

Kata Darojat, selama nyantri, ia beruntung bisa menjadi sekretaris kepala pondok. “Saya terbiasa begadang, mengerjakan surat menyurat, dan sebagainya. Termasuk soal menulis,” ujar Darojat.

Darojat memang piawai menulis. Ia terbiasa menulis opini di surat kabar. Esainya juga bagus.

[caption caption="Modul Al Faatih yang disusun sendiri oleh Darojat Gustian dan istrinya, Susilowati. "]

[/caption]Kata Darojat, idealnya lembaga pendidikan Islam itu memang menyatu dengan komunitas warga sehingga tak ada jarak. Dengan begitu, kemanfaatan lembaga terasa di tengah-tengah warga.

Susi menambahkan, ia dan suami memang ingin memberikan kontribusi buat kampung di mana mereka tinggal.

“Dari cerita suami itulah, bahwa pesantren dan komunitas masyarakat menyatu, kami makin yakin membuat Al Faatih ini.”

Semua Gratis

Saya mengamati ruang baru yang dibikin Susi dan Darojat. Setahun yang lalu saya ke sini, ruangan untuk mengaji masih menggunakan ruang depan rumah mereka. Waktu itu, memang padat sekali. Puluhan anak tumplek di sana. Anak-anak diatur sesuai dengan klelompok umurnya.

Setahun tak ke sini, perubahan Al Faatih membuat saya berdecak kagum. Halaman depan yang dahulu masih lapang, kini sudah berubah menjadi tempat belajar. Dua tingkat pula. Sayangnya pas saya ke sana, anak-anak baru saja kelar beres-beres.

Genangan air masih terlihat di lantai semen. Dinding juga belum dicat. Bagian lantai atas terbuat dari kayu. Masih ada satu ruang di atas yang belum rampung. Saya geleng-geleng kepala lantaran tahu keluarga ini hanya mengandalkan Susi yang bekerja sebagai karyawan di Lampung Post.

“Duit ngebangun dari mana, Mbak,” tanya saya.

Susi tidak lantas menjawab. Ia menatap lekat ke ruangan baru itu. Susi malah menjawab lain dari apa yang saya tanya.

“Tahu enggak, Bang. Ini kan ruangan plong ya. Kalau semua anak sudah masuk, kebayang kan padatnya. Mereka enggak disekat. Yang TKA ya sama gurunya. Yang TPA sama gurunya. Yang setor hafalan, ya di sini juga. Tahu enggak, Bang, meski tumplek di sini, semua konsentrasi dengan guru masing-masing. Enggak ada yang ngopenin kelompok lain, padahal anak-anak. Itu yang kata ibu-ibu di sini, pakai jampi  apa itu si Pakde, hahaha,” jawab Susi. Saya hanya manggut-manggut.

Susi kemudian bercerita soal uang yang ia gunakan untuk membangun Al Faatih ini sampai menggratiskan seluruh siswa.

Susi mengaku, ia menggunakan sebagian tabungan dan meminjam ke bank. Halaman depan yang semula sepetak tanah nganggur, ia ubah menjadi tempat belajar. Dua tingkat pula. Lantainya masih semen kasar. Tapi lumayan untuk mengaji. “Sudah representatiflah, Bang,” urainya.

[caption caption="Ruang belajar Al Faatih yang baru dibangun dengan uang sendiri. "]

[/caption]Susi bercerita, semua anak yang mengaji di sini, gratis. Tidak dipungut biaya. Tapi jika ada orangtua siswa yang memberikan dana per bulan, mereka tetap menerima. Namun, tak ada patokan.

Lantas, bagaimana dengan tenaga pengajar di sini? “Semuanya ikhlas mengajar tanpa dibayar. Andaipun ada, alhamdulillah. Saya dan suami berusaha ada honor saban bulan. Tapi jika tidak pun, mereka sudah maklum,” kata Susi.

Saya lama terdiam. Masih ada rupanya orang yang mau bekerja mendedikasikan ilmunya untuk orang lain tanpa mengharap imbalan.

Saya kemudian tanya, “Kan ada Kanwil Agama setempat, ada juga teman Mbak di sana. Kenapa enggak minta tolong.”

“Lebih enak kayak gini, kita independen. Tahu sendirilah kalau pemerintah, kalaupun ada bantuan juga enggak signifikan. Kami nanti yang enggak enak. Enggak nyaman kalau minta bantuan begitu,” ujarnya.

Memang tidak semua orangtua absen dalam memberikan uang alakadarnya kepada Al Faatih. Ada juga yang rajin memberi. Susi dan Darojat punya cerita menarik soal ini.

Kata Susi, ada di antara orangtua siswa yang bekerja sebagai buruh cuci. Namun, saban bulan, ia sanggup memberikan Rp50 ribu kepada lembaga ini. Nominal sebesar itu buat seorang tukang cuci, bisa dikatakan besar. Sebagai perbandingan, ada juga anak dari keluarga yang lebih mampu, tapi memberikan uang dalam nominal yang sama.

“Kami terkesan sama ibu itu. Padahal sudah kami omongkan, kalau lagi enggak ada, enggak ngasih juga enggak apa-apa. Tapi dia tetap ngotot. Kata dia, kalau anaknya rajin salat dan bisa ngaji kan juga membantu dia di akhirat kelak. Dia pengen banget anaknya bisa hafal Alquran,” lanjut Susi.

Lantas, dari mana Susi dan Darojat mencukupi operasional Al Faatih ini. Kerja sama suami-istri ini patut diacungi jempol.

Susi bercerita, awalnya Darojat ingin bekerja di lembaga lain, entah sebagai pengajar atau karyawan. Namun, tekad untuk mengabdi di masyarakat tetap ada. Masalahnya, kalau keduanya juga bekerja, siapa yang akan total mengurus lembaga ini.

Susi mahfum, sebagai kepala keluarga, suaminya tentu ingin memberikan nafkah yang baik dan mencukupi untuk keluarga. Akan tetapi, perkembangan Al Faatih juga mesti diurus dengan baik karena pekerjaan ini adalah ladang amal saleh yang luar biasa. Susi dan Darojat pun bersepakat.

“Aku tetap kerja di Lampung Post, toh enggak makan waktu lama juga di luar. Sedangkan suami total mengurus Al Faatih. Dari mengajar, mengurus administrasi, dan sebagainya. Alhamdulilah punya suami kayak dia,” cerita Susi.

Darojat menambahkan, jika mereka berdua bekerja di luar, tentu mesti memikirkan seorang tenaga yang khusus mengurusi “pondok pesantren” ini. Dan itu jelas merupakan pengeluaran rutin. Dengan Darojat fokus mengurus Al Faatih, pekerjaan administrasi dan segala pernak-perniknya bisa dikerjakan sendiri.

“Aku maklum sih kalau suami awalnya agak gimana gitu. Mungkin enggak enak karena enggak ada penghasilan. Tapi makin ke sini aku makin yakin, pilihan kami itu benar. Bayangkan aja, Bang. Semua administrasi ini, Abinya yang urus. Mulai bikin buku kemajuan siswa, bikin modul belajar tajwidnya, sampai urusan piagam dan sebagainya, dia yang urus. Kalau malam kami ngobrol mau bikin apa gitu, eh paginya udah jadi. Dia rupanya semalaman begadangan, nulis itu semua. Alhamdulillah banget,” lanjut Susi.

Untuk kelengkapan sebuah lembaga pendidikan Islam, Al Faatih cukup baik. Saya melihat panduan dan modul yang dibikin Darojat. Semua dibikin sendiri. Dicetak sendiri. Alat mengajar pun semua diusahakan sendiri. Ada juga yang dibantu orang lain seperti meja belajar kecil. Tetabuhan berupa rebana juga ada.

Susi bersyukur, suaminya tipikal pendidik sekaligus pekerja keras. Jika ada yang sedang dikerjakan, Darojat bisa semalaman begadangan di depan komputer. Paginya, karyanya sudah ada. “Bayangin kalau kami mesti gaji orang khusus untuk mengerjakan yang kayak gini, Bang,” kata Susi.

Kikis Stigma Maksiat

Kampung di mana Susi dan Darojat tinggal, lebih dikenal dengan Umbul Mantang. Entahlah, apakah dahulunya di sini banyak tanaman mantang atau ubi jalar, saya tidak bertanya lebih detail. Yang pasti, beberapa kawan pernah mengatakan, kampung ini cukup dikenal sebagai penghasil tuak.

Orang yang ada di sini bukan suka minum tuak, melainkan pembikin tuak. Beberapa kawan juga bercerita, kalau sering ada pesta-pesta di sini. Menyewa perempuan-perempuan cantik untuk menghibur. Yah mungkin seperti biduanita. Herannya, kebanyakan yang datang, ya bukan penduduk asli, tapi dari daerah lain.

[caption caption="Rebana di Al Faatih. "]

[/caption]Susi bercerita, suatu kali ada beberapa teman kantornya datang. Mereka takjub dengan suasana islami di sekitaran Al Faatih. Susi kemudian bercerita, kalau dahulu, daerah ini malah lebih dikenal karena sesuatu yang negatif. Seorang kawan kantor Susi juga mengakui, kalau daerah ini memang kerap dijadikan lokasi aktivitas negatif.

“Anak-anak di sini kan ada juga, Bang, yang ayahnya bikin tuak. Ya kami fokus ke anak-anak aja. Siapa sih yang mau kampungnya dikenal karena maksiat. Tapi yang kami lakukan insya Allah suatu waktu mengubah itu. Sekarang mungkin begini saja dulu. Anak-anaknya saja yang kami didik,” ujar Susi.

Kerja Darojat bisa dibilang 24 jam penuh. Hampir tiada hari libur buatnya. Jika pagi sampai jelang malam ia mengurusi anak-anak, malamnya ia mengajak beberapa bapak di lingkungan untuk ngaji. Jumlahnya tidak sebanyak anak-anak yang mencapai total seratusan itu.

“Kalau bapak-bapaknya paling belasan, kadang juga hanya sepuluh orang. Ya sama kayak anak-anaknya, mereka ngaji juga. Ada yang sama sekali belum bisa, ada yang belajar tajwid, dan sebagainya. Kadang juga diisi tausiyah. Kadang juga Yasinan berjamaah, dan sebagainya,” ujar Darojat.

Darojat cukup memperhatikan renegerasi Al Faatih. Maka itu, anak-anak yang sudah lumayan dalam mengaji dan menghafal, ia berikan tugas “asistensi” untuk adik-adiknya. Memang masih dikontrol sepenuhnya oleh tenaga guru dan Darojat sendiri. Namun, setidaknya, anak-anak yang sudah pandai, bisa menjadi panutan buat yang lain.

Susi menambahkan, sejak 2011 memulai Al Faatih, ia merasakan betul efek psikologis dari anak-anak di kampungnya itu. Dari yang semula enggan mengaji, menjadi gemar mengaji. Dari yang tidak disiplin, sampai yang malu sendiri kalau sampai telat datang ke Al Faatih.

“Ini mengimbas ke kampung lain. Sedikit demi sedikit nama Al Faatih mulai dikenal. Banyak juga dari Bandar Lampung yang ngaji di sini. Padahal jaraknya kan lumayan jauh,” urai Susi.

Darojat menambahkan, saban tahun, Al Faatih mengadakan perayaan kelulusan. Acara dibikin meriah. Semua dibiayai sendiri dan dibantu ibu-ibu sekitar lembaga ini. Tetamu juga diundang. Ustaz yang lumayan kondang pun didatangkan. Kebetulan Susi punya banyak kenalan penceramah atau mubalig yang lumayan enak didengar saat tausiyah.

Dengan begitu, kata Susi, syiar lembaga pun bisa diketahui khalayak ramai. Tentu bukan bermaksud sombong atau riya.

“Yang jelas, kami juga enggak nyangka perkembangan Al Faatih bisa seperti sekarang, Bang. Punya tempat belajar sendiri. Guru-guru setia mengajar meski honorariumnya tidak menentu. Warga di sini akhirnya mendukung. Suami juga totalitas. Aku juga semakin terkonsentrasi mengembangkan lembaga, dan sebagainya,” urainya.

Saya masih penasaran soal biaya yang dikeluarkan Susi saban bulan. Jika semuanya, katakankah hampir semuanya dicukupi sendiri, bagaimana dengan kepulan asap dapur keluarga kecil ini?

“Alhamdulillah rezeki ada aja kok, Bang. Kalau Al Faatih ini benar-benar amal saleh saja. Enggak bakalan kami patok biaya buat anak-anak. Kami cari sendiri untuk mencukupinya,” jawab Susi.

Saya masih hendak “mencecar” soal kebutuhan lembaga ini, Susi malah menawarkan saya makan seraya bergegas ke dalam.

“Makan ya, Bang. Abinya juga belum makan.”

Kalau yang ini, saya sungkan untuk menolak. Salam takzimku buat kalian berdua, Darojat dan Susi, serta si kecil Wafda, adik Al Faatih, yang insya Allah sudah tenang di Sana. Kerja ikhlas demi mengikis stigma maksiat ke anak-anak yang sholih dan sholihat.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun