Kalau sebatas keinginan orang per orang dan tidak terlembagakan dalam entitas yang resmi dan kuat, mungkin negara bisa saja mengabaikannya. Sebab, negara dalam hal ini pemerintah yang menjalankan kuasa rakyat, tentu memiliki prioritas. Sehingga, tidak semua hal bisa dijadikan basis untuk melaksanakan program tertentu.
Namun, jika keinginan itu melembaga ke dalam wadah yang resmi dan punya kekuatan hukum yang kuat, sudah pasti tekanan kepada penyelenggara negara sama kuatnya. Dengan redaksi lain, pemerintah tak punya alasan lagi untuk tidak menjadikan hal itu sebagai prioritas dalam pembangunan.
Sejatinya, sejak dahulu, gagasan mewakili suara rakyat ini bisa diejawantahkan oleh parlemen yang anggotany dipilih langsung oleh rakyat. Maka itu, kita akrab membaca, Dewan Perwakilan Rakyat itu disebut sebagai wakil rakyat. Makin kuat itu saat anggota dewan yang terpilih adalah merek yang dipilih paling banyak di daerah pemilihannya. Meski untuk poin ini, sisi kekurangan tentu ada karena setiap anggota dewan hanya mewakili segelintir rakyat dalam akumulasi yang besar. Jika dipilih dalam satu daerah pemilihan, paling banter puluhan ribu suara yang menjadi konstituennya.
Nah, kini kita mengenal ada pilar negara yang masuk ke dalam ranah legislatif yakni Dewan Perwakilan Daerah. Berbeda dengan anggota DPR, anggota DPD ini membawa amanat dari segenap warga yang berada pada suatu provinsi. Dengan sebaran pemilih yang lebih luas, tingkat keterwakilan seorang anggota DPD sebetulnya lebih mengakar jika dibandingkan seorang anggota DPR. Memang tidak selalu, namun psikologis memang demikian. Itulah sebab, mengapa anggota DPD ini disebut senator karena ia mewakili langsung suara konstituennya.
Dengan mewakili suara warga sebuah provinsi yang tidak dibagi dengan daerah pemilihan sebagaimana halnya anggota DPR, kedudukan basis massa dan akar rumput para senator ini lebih kuat. Orang dalam bilik suara memilih seorang anggota DPD berdasar pengenalannya terhadap pribadi nomine anggota DPD itu. Berbeda dengan wakil partai, yang dipilih sedikit banyaknya karena faktor partai yang mengusung. Meski tingkat pengenalan pemilih juga memengaruhi, tetapi tingkat "keterkenalannya" tetap lebih kuat yang anggota DPD.
Anggota DPD pun mewakili diri mereka sendiri meski ada yang berasal dari anggota partai politik. Maka itu, sisi keterwakilan rakyat yang diemban oleh anggota DPD lebih bergigi dan bertaji. Tak mengherankan dan cukup rasional jika frasa suara rakyat suara Tuhan itu kini melekat pada diri dan kinerja seorang anggota DPD.
Menjadi anggota DPD tidak boleh lagi dianggap jabatan "inferior" dalam ranah politik. Kewenangan yang dahulu hanya bertumpu pada anggota DPR/MPR, kini sudah terbagi ke DPD. Dan ini tentu menguatkan karena peran legislasi yang diemban bisa semakin kuat dan kaya ragam ide serta gagasan.
Pendek kata, mewakili suara rakyat dan suara Tuhan, kini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kerja seorang senator. Saban hari, seorang anggota DPD wajib menginventarisasi masalah pembangunan yang ia temukan di daerahnya kemudian mencarikan solusi dengan mengaitkan itu pada program yang sudah dijalankan pemerintah di provinsi itu. Semakin banyak isu yang bisa dipetakan, semakin baik. Sebab, dari situ akan ketahuan kebutuhan riil sebuah provinsi. Tentu tidak sebatas isu yang membutuhkan bujet besar APBN. Namun, boleh jadi sebuah ihwal yang berkenaan dengan kesinambungan negara di dalam provinsi itu.
Misalnya, jika dalam temuan anggota DPD terinventarisasi persoalan ideologi negara, itu bisa dijadikan laporan kepada pemerintah pusat. Bahwa setiap bentuk makar dan menggugat konsep NKRI bisa menjadi ancaman dalam ranah kenegaraan.
Kita selama ini minim pasokan informasi yang sifatnya di luar bujet atau anggaran. Sesuatu yang sifatnya ideologis kadang tidak menjadi bahan inventarisasi masalah yang layak untuk dijadikan bagian dari aktivitas kerja. Ambil contoh kerusuhan yang terjadi di Tolikara yang baru lewat. Mengapa itu bisa terjadi? Mengapa hal semacam itu baru dijadikan perhatian setelah ada masalah, setelah ada konflik, setelah jatuh korban? Mengapa tidak mencegahnya sejak dini. Ini terjadi karena kita minim pasokan informasi soal itu sehingga negara tidak memiliki basis informasi yang memadai.
Nah, keberadaan anggota DPD ada pada konteks itu. Tidak seperti anggota DPR yang malah aneh-aneh melihat konflik itu sebagai bagian dari politisasi mereka. Yang semestinya meredam dan berpikir jernih, kemudian mengaitkan dengan hal yang tak rasional.
Jika sejak semula anggota DPD mampu melihat potensi konflik agama semacam itu, tentunya persoalan itu bisa dicegah. Apa yang melatarbelakangi konflik, jika sudah bisa diendus sejak lama, pasti bisa dipikirkan strateginya. Intelijen negara akan terbantu. Demikian juga kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia.
Ke depan, perihal semacam ini mesti menjadi satu bagian dari pekerjaan utama seorang anggota DPD. Seorang, anggota DPD mesti punya basis massa yang kuat dan tahu persoalan di daerahnya secara detail. Tidak sepotong-sepotong. Tidak setengah-setengah. Tidak nanggung.
Sinkronisasi Program
Basis informasi yang didapat pemerintah pusat menjadi dasar kebijakan negara untuk sebuah provinsi. Dalam konteks bujet, itulah yang acap disapa daftar isian proyek anggaran atau DIPA. Nah, persoalannya sekarang, seberapa mengerti pemerintah pusat dengan potensi sebuah daerah. Yang selalu mengemuka adalah, bujet yang dianggarkan untuk sebuah provinsi jauh dari cukup. Ini terjadi karena program yang diusung pusat tak selaras sengan program daerah. Wajar kalau dalam pelaksanaan di lapangan, ketidaksinkronan terjadi. Pusat maunya ke mana, daerah maunya ke mana. Ketiadaan visi yang sama membuat proyek pembangunan di sebuah daerah yang dibiayai APBN tidak sinkron.
Gap yang terjadi selama ini sebetulnya bisa dijadikan pembelajaran oleh setiap anggota DPD. Bahwa mereka sekarang wajib mengetahui dengan detail persoalan di daerah, potensi, kekurangan, peluang, dan hal lainnya. Semakin banyak input yang diperoleh, semakin bagus. Dari situ bisa dikelompokkan, mana yang prioritas, mana yang tidak. Mana yang mendesak, mana yang tidak. Mana yang berkesesuaian dengan potensi daerah, mana yang tidak. Termasuk juga potensi konflik yang terjadi di masyarakat. Daerah mana saja yang menjadi sumber masalah, bisa diinventarisasi dan disampaikan langsung kepada pemegang otoritas keamanan setempat.
Sungguh baik jika seorang anggota DPD menyampaikan hasil analisis keamanan daerah kepada Polda setempat. sungguh baik jika seorang anggota DPD memaparkan potensi ekonominya kepada Bappeda setempat. Sungguh elok jika seorang anggota DPD memaparkan temuan konsep kearifan lokal yang bisa dijadikan falsafah pembangunan provinsi itu. Dan masih banyak hal lain lagi yang bisa dilakukan.
Sinergitas dalam hal ini tak melulu dengan pemerintah pusat. Kepada pemerintah daerah pun bisa. Tak ada satu pun regulasi yang melarang seorang senator menyampaikan itu kepada kepala daerah di mana ia terpilih. Persoalan jalur dan rantai kebijakan yang berbeda, itu lain soal.
Kita ambil contoh Lampung. Selama ini daerah asal penulis ini lebih identik dengan begal ketimbang prestasi lainnya. Nama Lampung di kancah nasional lebih banyak minus ketimbang plus. Anggota DPD asal daerah ini punya kewajiban menelaah persoalan ini. Mengapa tak ada identifikasi lain yang lebih kental dari Lampung selain begal? Pasti ada masalah di sini. Jika persoalan begal adalah kemiskinan di daerah yang selama ini menjadi " produsen" begal, mesti ada program untuk mengatasinya. Pendekatan apa yang paling pas digunakan untuk mengatasi persoalan ini.
Jika selama ini pemerintah daerah dan Polda terkesan buntu dan mati akal menyelesaikan persoalan, anggota DPD harus tampil sebagai pemberi solusi yang cerdas dan rasional. Dan jika itu ditelaah paling memungkinkan, tak ada kata lain selain mengejawantahkan solusi yang ditawarkan anggota DPD setempat. Itulah esensi senator. Ia mereka, denyut kehidupan di rumah-rumah rakyat, mengetahui persoalan di dalamnya, dan punya rumus untuk menyelesaikannya. Sungguh senator yang paripurna.
Pun demikian halnya dengan program pembangunan, suara yang dilantangkan anggota DPD pasti didengar karena ia mewakili suara rakyat. Kebijakan pemerintah pusat kemudian akan disinkronkan dengan kebutuhan riil daerah itu. Selain berkoordinasi dengan pemda setempat, suara anggota DPD asal provinsi itu akan dijadikan dasar utama. Sebab, temuan itu diambil di lapangan. Sesuatu yang riil dan rasional.
Dengan demikian, jargon suara rakyat suara Tuhan, dan itu dijalankan anggota DPD, benar-benar menjadi kenyataan. Suara senator tak lagi hanya didengar, tapi juga dilaksanakan. Tak hanya masuk ke telinga penyelenggara negara, tapi masuk dalam alam pikirnya sehingga mewujud dalam sebuah program nyata.
Sungguh sebuah kerugian jika pemerintah pusat dan daerah tidak mau mendengarkan aspirasi senator. Sebab, ihwal yang mereka dapat dan dedahkan adalah sesuatu yang nyata. Tak hanya nyata dalam sebaran opini, tapi sudah dirangkum menjadi sebuah bahan yang siap diolah pemangku kepentingan di provinsi itu.
Sejujurnya, harapan sinkronisasi pembangunan ini akan diperoleh jika setiap senator mumpuni dalam berkiprah. Merakyat di provinsi yang ia wakili, piawai melontarkan gagasan yang cerdas dan masuk akal, serta punya akses memadai untuk memengaruhi pemegang kebijakan eksekutif. Kalau itu yang mewujud, suara DPD tak hanya wajib didengarkan, tapi fardu ain untuk diejawantahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H