Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Suara DPD Suara Tuhan, Fardu Ain Negara Sinkronkan Pembangunan

19 Juli 2015   23:16 Diperbarui: 19 Juli 2015   23:16 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://assets.kompas.com/

Kita selama ini minim pasokan informasi yang sifatnya di luar bujet atau anggaran. Sesuatu yang sifatnya ideologis kadang tidak menjadi bahan inventarisasi masalah yang layak untuk dijadikan bagian dari aktivitas kerja. Ambil contoh kerusuhan yang terjadi di Tolikara yang baru lewat. Mengapa itu bisa terjadi? Mengapa hal semacam itu baru dijadikan perhatian setelah ada masalah, setelah ada konflik, setelah jatuh korban? Mengapa tidak mencegahnya sejak dini. Ini terjadi karena kita minim pasokan informasi soal itu sehingga negara tidak memiliki basis informasi yang memadai.

Nah, keberadaan anggota DPD ada pada konteks itu. Tidak seperti anggota DPR yang malah aneh-aneh melihat konflik itu sebagai bagian dari politisasi mereka. Yang semestinya meredam dan berpikir jernih, kemudian mengaitkan dengan hal yang tak rasional.

Jika sejak semula anggota DPD mampu melihat potensi konflik agama semacam itu, tentunya persoalan itu bisa dicegah. Apa yang melatarbelakangi konflik, jika sudah bisa diendus sejak lama, pasti bisa dipikirkan strateginya. Intelijen negara akan terbantu. Demikian juga kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia.

Ke depan, perihal semacam ini mesti menjadi satu bagian dari pekerjaan utama seorang anggota DPD. Seorang, anggota DPD mesti punya basis massa yang kuat dan tahu persoalan di daerahnya secara detail. Tidak sepotong-sepotong. Tidak setengah-setengah. Tidak nanggung.

Sinkronisasi Program

Basis informasi yang didapat pemerintah pusat menjadi dasar kebijakan negara untuk sebuah provinsi. Dalam konteks bujet, itulah yang acap disapa daftar isian proyek anggaran atau DIPA. Nah, persoalannya sekarang, seberapa mengerti pemerintah pusat dengan potensi sebuah daerah. Yang selalu mengemuka adalah, bujet yang dianggarkan untuk sebuah provinsi jauh dari cukup. Ini terjadi karena program yang diusung pusat tak selaras sengan program daerah. Wajar kalau dalam pelaksanaan di lapangan, ketidaksinkronan terjadi. Pusat maunya ke mana, daerah maunya ke mana. Ketiadaan visi yang sama membuat proyek pembangunan di sebuah daerah yang dibiayai APBN tidak sinkron.

Gap yang terjadi selama ini sebetulnya bisa dijadikan pembelajaran oleh setiap anggota DPD. Bahwa mereka sekarang wajib mengetahui dengan detail persoalan di daerah, potensi, kekurangan, peluang, dan hal lainnya. Semakin banyak input yang diperoleh, semakin bagus. Dari situ bisa dikelompokkan, mana yang prioritas, mana yang tidak. Mana yang mendesak, mana yang tidak. Mana yang berkesesuaian dengan potensi daerah, mana yang tidak. Termasuk juga potensi konflik yang terjadi di masyarakat. Daerah mana saja yang menjadi sumber masalah, bisa diinventarisasi dan disampaikan langsung kepada pemegang otoritas keamanan setempat.

Sungguh baik jika seorang anggota DPD menyampaikan hasil analisis keamanan daerah kepada Polda setempat. sungguh baik jika seorang anggota DPD memaparkan potensi ekonominya kepada Bappeda setempat. Sungguh elok jika seorang anggota DPD memaparkan temuan konsep kearifan lokal yang bisa dijadikan falsafah pembangunan provinsi itu. Dan masih banyak hal lain lagi yang bisa dilakukan.

Sinergitas dalam hal ini tak melulu dengan pemerintah pusat. Kepada pemerintah daerah pun bisa. Tak ada satu pun regulasi yang melarang seorang senator menyampaikan itu kepada kepala daerah di mana ia terpilih. Persoalan jalur dan rantai kebijakan yang berbeda, itu lain soal.

Kita ambil contoh Lampung. Selama ini daerah asal penulis ini lebih identik dengan begal ketimbang prestasi lainnya. Nama Lampung di kancah nasional lebih banyak minus ketimbang plus. Anggota DPD asal daerah ini punya kewajiban menelaah persoalan ini. Mengapa tak ada identifikasi lain yang lebih kental dari Lampung selain begal? Pasti ada masalah di sini. Jika persoalan begal adalah kemiskinan di daerah yang selama ini menjadi " produsen" begal, mesti ada program untuk mengatasinya. Pendekatan apa yang paling pas digunakan untuk mengatasi persoalan ini.

Jika selama ini pemerintah daerah dan Polda terkesan buntu dan mati akal menyelesaikan persoalan, anggota DPD harus tampil sebagai pemberi solusi yang cerdas dan rasional. Dan jika itu ditelaah paling memungkinkan, tak ada kata lain selain mengejawantahkan solusi yang ditawarkan anggota DPD setempat. Itulah esensi senator. Ia mereka, denyut kehidupan di rumah-rumah rakyat, mengetahui persoalan di dalamnya, dan punya rumus untuk menyelesaikannya. Sungguh senator yang paripurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun