Seorang teman kemudian menolongnya membikinkan cover. Kini tugas Dila adalah mencari di mana kantor penerbit terkemuka itu. Dila buta Jakarta. Tapi ia tak kehilangan akal. SMS yang masuk ke ponselnya dari banyak remaja putri yang pernah mendapat advisnya makin membuatnya yakin. Teteh Dila, demikian sapaan sayang para remaja kepadanya.
Sampai di tanah Jakarta, Dila menghubungi seorang teman. Orangtua teman Dila itulah yang kemudian membuatkan semacam peta sederhana rute menuju Penerbit Gramedia. Bismillah, Dila memulai langkah. Dari satu bus ke bus lain. Dari satu angkot ke angkot lain. Kulit kakinya yang mulus sampai lecet lantaran bersepatu. Untungnya Dila acap membawa sandal jepit sehingga bisa digunakan tatkala sepatu tak bisa lagi diajak berkompromi.
Peluh membanjir, Dila sampai di titik akhir, gedung penerbit Gramedia. Ibarat anak kampung turun gunung, Dila takjub dengan gedung yang mentereng itu. Namun, bukan itu yang ia inginkan. Naskah di dalam tasnya itu yang sedang menanti masa depan. Usai salat zuhur di musala Gramedia, Dila mencari orang yang bisa ia tanya. Saat mematut diri di kaca dekat toilet, ia bertemu perempuan muda.
Dila tipikal perempuan yang ramah. Ia bertanya kepada wanita itu bagaimana cara memasukkan naskah ke Gramedia. Dila bahkan setengah memaksa ingin bertemu langsung dengan si editor yang berwenang dengan naskah itu. Ibarat peribahasa, pucuk dicinta ulam tiba. Perempuan yang sedang ia ajak mengobrol itu rupanya editor yang memang bertugas menyunting dan menilai buku-buku populer yang akan terbit. Namun, si editor berada dalam naungan Elex Media Komputindo, grup Gramedia. Dila tak soal.
"Enggak nyangka banget Kak aku langsung ketemu editornya. Masya Allah, dan itu memang aku sudah pikirkan sejak di luar tadi. Aku pikirkan semua yang positif dan Allah ternyata mengabulkan," kata Dila kepada saya beberapa waktu yang lalu.
Dila kemudian berbicara panjang lebar dengan editor perempuan itu. Si editor terkesima saat tahu Dila dari Lampung. Memang tidak jauh Lampung ke Jakarta. Tapi berupaya datang sendiri dan ngotot bertemu dengan editor, adalah sesuatu yang membuat editor itu tertarik. Tatkala Dila menyorongkan naskah buku itu dengan judul "Miss Independent", editor itu cukup tertarik. Inti cerita, Dila berhasil menyerahkan naskah itu kepada si penanggung jawabnya langsung.
Setelah bolak balik memperbaiki naskah, bahkan ngotot mempertahankan judul Miss Independent yang hendak diganti menjadi The Diamond of The World, naskah itu akhirnya terbit tahun 2013. Judul lengkapnya, Miss Independent, The Diamond of The World. Dila puas. Cita-citanya menerbitkan buku skala nasional terukir. Itu bahkan luar biasa karena jarang karya pertama seorang penulis, dari luar Jakarta pula, langsung tembus penerbit nasional.
"Doaku, aku yakin banget diijabah Allah. Doa kawan-kawan, para Miss Independent di Lampung, yang buat karya itu bisa terbit oleh Elex Media Komputindo," ujarnya.
Dila kemudian tumbuh menjadi salah seorang perempuan yang menginspirasi di Bandar Lampung. Kelas seminar yang ia isi makin banyak. Tawaran wawancara dengan media cetak dan televisi di Lampung makin sering ia terima. Dan tentu saja, ponselnya lebih sering mendapat panggilan masuk dan SMS. Ngomong-ngomong, apa sih selarik soal Miss Independent yang membuat Dila menjadi inspirasi perempuan muda di Bandar Lampung? Yuk, kita kuliti secukupnya.
Dila membagi pria dan wanita dalam relasi lawan jenis dengan empat tipikal: Mr dan Miss Innocent, Mr dan Miss Cruel, Womanizer dan Manizer, dan terakhir Mr atau Miss Independent.
Innocent punya sifat cinta itu buta. Logika buat orang dalam tipikal ini tidak begitu berpengaruh. Begitu jatuh cinta, semua tidak terkontrol. Ia dibutakan oleh cinta. Emosi meledak-ledak, dan berhasrat membahagiakan sepenuhnya pasangan. Ini mungkin baik. Tapi kadang orang di kuadran ini sampai mengorbankan diri sendiri. Sebagian perempuan muda yang jatuh ke dalam pelukan seorang laki-laki dan secara sadar menyerahkan kehormatannya, adalah contoh konkret para innocent.