Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika PT Askes Cuma Bisa Ganti Klaim Rp 60 Ribu

27 Februari 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:55 6572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 23 Februari, mertua saya buang-buang air. Sejak sore kondisinya sudah lemas. Lantaran lebih 10 kali buang air, kami segera membawanya ke rumah sakit. Karena mertua pensiunan PNS dan punya Askes, kami membawanya ke Rumah Sakit Detasemen Kesehatan Tentara (DKT). Sampai di sana, diperiksa. Namun, karena semua ruang penuh, orangtua kami tak bisa dirawat. Kami kemudian mencari rumah sakit lain. Kami ke Advent. Ini rumah sakit swasta di Bandar Lampung. Jelas tidak punya kerja sama dengan PT Askes. Karena mendesak, apa boleh buat. Masuk IGD, diperiksa, tapi ujung-ujungnya juga mentok. Semua ruangan penuh. Kondisi orangtua kami drop. Sempat muntah di sana. Kami kemudian mencari rumah sakit lain. Kami ke Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Ini rumah sakit pemerintah. Askes jelas dilayani. Sebelum orangtua kami turun dan diperiksa, saya bertanya dulu, apakah ada ruangan. Rupanya penuh juga. Dalam dua bulan terakhir Kota Bandar Lampung memang sedang wabah demam berdarah dan hepatitis. Semua rumah sakit kewalahan menampung pasien. Lantaran penuh juga, kami mencari rumah sakit lain. Untungnya di Kedaton Medical Center, masih ada ruang. Klinik ini tidak bekerja sama dengan PT Askes. Mertua saya pun dirawat. Waktu sudah menunjukkan pukul satu. Itu sudah masuk Jumat, 24 Februari.


Keadaan orangtua kami membaik. Hasil laboratorium, mertua kami menderita tifus. Ia juga punya riwayat mag yang akut. Karena sudah baikan, kami meminta agar Sabtu, 25 Februari, pagi hari, sudah bisa pulang. Dokter yang merawat, Nur Fatonah namanya, mengiyakan. Kami meminta biaya diperinci. Jumat itu juga kakak ipar saya ke PT Askes di bilangan Rajabasa, Bandar Lampung. Kami hendak menanyakan apakah bisa mengajukan klaim ke PT Askes untuk peserta yang dirawat di rumah sakit atau klinik yang belum bekerja sama dengan PT Askes. Jawaban yang kami dapat: bisa. Memang petugas PT Askes tidak menyebutkan nominal. Tapi, kami diminta melengkapi beberapa syarat: kuitansi pembayaran rumah sakit bermeterai, surat resume medik, hasil laboratorium, perincian dana bermeterai, surat keterangan emergency dari rumah sakit, surat kronologis dari pasien, dan fotokopi kartu Askes. Pikir kakak ipar saya, diganti separuh saja sudah lumayan. Semua keterangan petugas dicatat oleh kakak ipar. Setelah tahu ada kans bisa diganti, semua syarat kami penuhi. Alhamdulillah, Sabtu pagi, 25 Februari, mertua kami diizinkan pulang. Semua berkas dari rumah sakit itu untuk keperluan klaim, sudah beres. Tinggal bikin surat kuasa kepada saya untuk mengurus klaim. Sabtu dan Minggu jelas kantor tutup. Senin, 27 Februari siang, saya ke sana. Semua berkas lengkap. Setelah menunggu panggilan, tibalah saya dipanggil petugas perempuan. Setelah tujuan saya utarakan, dia melihat semua berkas. Tidak ada masalah. Yang mengejutkan ialah karena mertua kami dirawat di klinik yang belum bekerja sama, pihak PT Askes hanya membayar Rp 60 ribu dari total klaim kami sejumlah Rp 865 ribu! Saya kaget. Saya bilang, dalam perkiraan kami, paling tidak ada penggantian sampai separuh. Toh, surat kronologis sampai mertua kami dirawat di rumah sakit non-Askes, sudah ada. Itu kan bisa menjadi alasan mengapa sampai dirawat di rumah sakit yang ber-Askes. Tapi jawabannya begitu. Intinya untuk perawatan sehari dua malam itu cuma Rp 60 ribu!

Sudah begitu, klaim baru bisa dilayani di atas tanggal 5 karena di atas tanggal 25 sudah tutup buku.

Dari kejadian ini, saya ingin memberikan catatan, masukan buat PT Askes.


Pertama, kejelasan biaya klaim.

Kalau memang jumlah yang ditanggung Askes tidak signifikan, mestinya diberi tahu saja sejak awal ketika keluarga pasien bertanya. Bilang saja, "Pak, karena orangtua Bapak dirawat di rumah sakit yang belum bekerja sama, sehari kami cuma bisa menanggung Rp 60 ribu." Kalau ada omongan begitu kan jelas. Bukan tidak bersyukur diganti Rp 60 ribu. Tetapi jika dibandingkan dengan angka klaim, jumlah sebesar itu.... Masya Allah...

Percuma saja buat surat dan tetek bengek lainnya kalau duit klaim yang didapat tidak sepadan. Kalau masih seperempatnya saja, masih lumayan. Tapi kalau Rp 60 ribu, capek deh!

Buat apa ada surat kronologis, surat keterangan emergency, sampai kuitansi bermeterai. Meterainya saja tiga biji sudah Rp 18 ribu. Ampun!


Kedua, kalau sudah tahu tutup buku, loketnya tidak usah dibuka.

Kan percuma, sudah mengantre, jawabannya sederhana sekali. Kalau begitu, taruh petugas di pintu depan. Kalau ada peserta atau keluarga yang mengajukan klaim, bilang sama, "Mohon maaf, Ibu, klaim baru bisa dilayani di atas tanggal 5 sampai tanggal sekian." Jadi, peserta Askes bisa pulang.


Ketiga, penggantian PT Askes tidak proporsional.

Kami tidak mempermasalahkan apakah PT Askes sudah bekerja sama dengan berapa rumah sakit. Akan tetapi, dengan jumlah manusia yang bertambah dan rumah sakit yang menerima peserta Askes terbatas, korporasi mestinya cepat bertindak. Perbanyak rumah sakit atau klinik yang bisa menerima pasien berkartu Askes. Apalagi kalau sedang wabah, jangankan pelayanan Askes, dapat ruang di rumah sakit saja sudah syukur.


Setiap bulan PT Askes kan mendapat dana peserta yang dipotong dari gaji atau pensiunan. Percayalah, tidak ada orang yang mau sakit, dirawat, diopname. Barangkali dari sekian juta peserta Askes, cuma sedikit yang rutin berobat. Kalau tidak terpaksa sekali kan tidak ke rumah sakit. Nah, mestinya kalau cuma mengganti di bawah satu juta rupiah dan semua ketentuan dipenuhi, mestinya bisa dong. Percuma setiap bulan duit dipotong kalau cuma mengganti Rp 865 ribu saja enggak sanggup. Tidak manusiawi kalau Rp 60 ribu.


Pasien ke rumah sakit non-Askes kan bukan keinginan. Tapi lantaran kondisi mendesak. Urusannya nyawa. Mati. Ini filosofi yang mesti dipahami oleh manajemen PT Askes.


Saya kira duit Rp 865 ribu tak sulit diperoleh korporasi sebesar PT Askes. Entahlah kalau memang dalam sehari jumlah klaim yang masuk cukup banyak. Yang kami harapkan, performa PT Askes menjadi lebih baik. Penggantian uang peserta mesti ditingkatkan atau dibuat aturan baku cuma separuh misalnya. Saya tidak mengetahui persis bagaiman skema kerja sama sebuah rumah sakit dengan PT Askes. Tapi kalau di rumah sakit yang join dengan Askes, peserta bisa "gratis" berobat dan dirawat inap, semestinya kan tidak jauh beda jika berobat di klinik yang belum menerima Askes. Kita ingin perlindungan kesehatan peserta Askes tidak setengah-setengah. Sudahlah dipotong tiap periode, kalau masih menyulitkan peserta, rasanya tidak bijak. Demikian catatan kami. Semua untuk kemajuan. Kritik dalam tulisan ini sebagai penggugah saja agar performa PT Askes meningkat setiap tahun. Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun