Mohon tunggu...
Adhita DyahAnggraini
Adhita DyahAnggraini Mohon Tunggu... Guru - Ibu dan Pendidik AUD

Saya adalah seorang ibu dengan 2 orang anak yang memilih profesi pendidik sebagai jalan hidup, mengamati dan mempelajari dunia pendidikan anak yang seolah tidak pernah habis untuk dipelajari, selalu berhasil memompa semangat saya untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidik sebagai Penanam Benih Karakter Kebaikan

18 Januari 2021   08:30 Diperbarui: 18 Januari 2021   08:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ini adalah kali pertama saya menuliskan pengalaman saya selama bergelut di dunia pendidikan anak usia dini sejak tahun 2006 yang lalu, kurang lebih 14 tahun yang lalu. 

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan bahwa saya akan jatuh cinta dengan dunia pendidikan anak usia dini, bahkan latar belakang pendidikan saya sama sekali tidak menunjang perjalanan saya memasuki dunia ini. 

Tapi sepertinya Tuhan YME telah menuntun saya menemukan jalan ini melalui proses berliku yang harus saya jalani terlebih dahulu. Setelah beberapa kali berganti pekerjaan dengan bidang yang tidak berhubungan satu dengan lainnya, saya diberikan jalan oleh Tuhan YME mengenal dunia ini.

Berawal dari iseng, saya memberanikan diri melamar sebagai educator di salah satu sekolah di Yogyakarta. Pada saat melamar sama sekali tidak terbayang apa yang akan dikerjakan oleh seorang educator, dalam bayangan saya nanti mungkin saya akan banyak mempersiapkan rencana belajar anak-anak di sekolah itu. 

Nekat, mungkin itu kata yang terlintas saat saya memutuskan untuk menjalani proses recruitmennya, hanya berbekal ketertarikan saya berinteraksi dengan anak-anak, saya memberanikan diri mencoba. Semua proses terasa berjalan lancar, hingga akhirnya saya diterima bekerja sebagai educator di lembaga itu. 

Tantangan pertama yang harus saya hadapi, adalah keluarga saya, ayah dan ibu saya, mereka kurang mendukung pilihan saya menjalani pekerjaan pilihan saya ini, saya memahaminya, wajar jika orang tua berharap dengan latar belakang pendidikan yang telah dijalani, anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi dari sekedar guru PAUD. Tapi entah apa yang membuat saya memilih untuk maju terus menjalani profesi baru ini, mungkin karena saya mulai jatuh cinta tanpa saya sadari.

Sebelum memutuskan untuk terjun di dunia pendidikan anak usia dini ini, tidak pernah terbayangkan di benak saya bagaimana proses menanamkan satu saja kebiasaan baik pada anak. 

Dulu sebelum pendidikan anak usia dini berkembang, jarang sekali saya melihat dan mendengar anak mengatakan permisi dengan percaya diri saat lewat di depan orang yang lebih tua, atau anak yang secara sukarela mengucapkan kata maaf saat merasa melakukan kesalahan. Sekarang saat pemerintah telah berhasil menggiatkan gerakan satu desa satu PAUD, semakin banyak anak-anak usia dini yang memiliki ketrampilan-ketrampilan tersebut.

Semua pencapaian itu tidak terbentuk secara instan, ada banyak pihak yang terlibat, ada banyak hari yang dibutuhkan untuk menanamkan satu kebiasaan baik pada diri seorang anak, dan perlu konsistensi yang tidak mudah dijalani untuk menjadikan kebiasaan-kebiasaan baik itu melebur menjadi sebuah karakter dalam diri anak. Apa artinya menjadi karakter anak? Artinya bahwa kebiasaan itu telah menjadi nilai dalam pribadi anak. Anak menggunakan nilai yang diyakininya dalam mengambil keputusan dari setiap tindakan yang akan diambilnya.

Dulu sebelum saya menjadi seorang pendidik, saya selalu terkesan jika mendengar ada seorang anak yang dengan otomatis mengucapkan kata “permisi” saat akan lewat di depan orang lain, atau saat melihat seorang anak yang mau mengantre untuk mendapatkan gilirannya di saat teman-temannya sibuk berebut giliran. Yang ada di benak saya pada waktu itu adalah bagaimana ya cara orang tuanya mengajarkan hal tersebut hingga tanpa disuruh atau diingatkan, anak itu akan dengan sukarela melakukan kebiasaan baik tersebut.

Ternyata, Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk mendapatkan pengalaman langsung, demi mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya itu. Saya menemukan banyak sekali pelajaran hidup dari anak-anak didik saya, saat saya memulai karir saya sebagai educator di lembaga itu. 

Pada awalnya tidak ada bayangan apa yang akan saya lakukan sebagai seorang pendidik, mengingat latar belakang pendidikan saya yang bukan berasal dari bidang pendidikan. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa dengan memilih jalan ini saya akan mendapatkan pengalaman yang sungguh luar biasa, hingga detik ini, tidak hentinya saya bersyukur bahwa Tuhan menuntun jalan saya, hingga saya menemukan sesuatu yang selama ini saya cari. 

Di sinilah saya merasa bahwa ini adalah salah satu peran yang Tuhan kehendaki untuk saya jalani di dunia ini. Peran saya sebagai pendidik untuk anak usia dini memiliki peran yang sangatlah penting dalam satu fase kehidupan seorang anak manusia yang nantinya akan ikut menentukan akan menjadi seperti apa sang anak ini kelak dewasa. Sungguh, ini bukan sebuah peran yang main-main, tanggung jawab yang sangat besar yang akan saya pertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.

Lembaga pendidikan tempat saya belajar dan bekerja adalah sebuah lembaga pendidikan yang mempercayai bahwa kemampuan akademis bukanlah satu-satunya yang akan menentukan kesuksesan hidup seseorang. Alih-alih menggeber stimulasi untuk kemampuan bahasa dan kognitifnya, di lembaga itu pendidikan karakter menjadi fokus utama para pendidik di lembaga kami untuk distimulasikan kepada pada peserta didik kami. 

Kami percaya bahwa modal utama bagi seorang anak untuk bisa bertahan menghadapi tantangan kehidupannya adalah memiliki karakter diri yang kuat dan menguasai ketrampilan-ketrampilan hidup .

Tahun-tahun pertama menjadi tantangan yang berat untuk saya, hanya berbekal kecintaan pada anak, tanpa latar belakang pendidikan yang mendukung, saya harus belajar ekstra keras mencari formulasi yang tepat dalam melakukan pendekatan kepada murid-murid saya untuk membangun pondasi karakter yang kuat. 

Ini tidak mudah, tetapi bisa dilakukan, tantangan bagi seorang pendidik anak usia dini adalah bagaimana agar semua perbuatan dan kebiasaan baik itu menetap dalam diri anak dan menjadi karakater hingga dia dewasa kelak. 

Memang, ini adalah sebuah tanggung jawab besar, karena menyangkut masa depan seorang anak manusia. Walaupun peran pendidik utama seorang anak adalah orang tuanya, namun kenyataannya bahkan sekarang ini tidak sedikit anak-anak yang waktunya lebih banyak bersama dengan gurunya daripada dengan orang tuanya. Waktu yang saya maksudkan di sini bukan hanya melewatkan saat bersama dari menit ke menit atau dari jam ke jam, tetapi waktu yang dimaksud adalah waktu yang berkualitas, dimana didalamnya ada saat-saat yang esensial dan krusial dalam penanaman karakter anak.

Berbagai metode dan cara saya coba dalam upaya saya mendapatkan formulasi yang tepat untuk menanamkan kebiasaan dan perbuatan baik pada anak-anak didik saya, akhirnya saya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa tidak akan ada satu formulasi yang paling tepat untuk diterapkan pada seorang anak. Karena setiap anak itu unik, dengan karakter dasar yang telah mereka bawa sejak lahir. Perbedaan itu yang membuat seorang pendidik perlu menyesuaikan pendekatan yang digunakannya dalam menanamkan karakter diri yang kuat pada anak.

Pertanyaan selanjutnya adalah harus dimulai dari mana untuk memberikan pendidikan karakter pada anak?. Keteladanan adalah kunci, dimulai dari sekolah pertama bagi seorang anak yaitu keluarga, keteladanan dari kedua orang tuanya adalah yang utama. 

Seiring dengan tahapan perkembangan seorang anak, lingkup sosialnya akan berkembang, anak akan mulai mengenal lingkungan baru di luar lingkungan keluarganya, yaitu lingkungan sekolah. Di sini anak akan mulai melihat keteladanan lain selain keluarga. Keteladanan dari seorang pendidik, terutama di masa-masa usia dini menjadi gerbang keduanya dalam menyerap berbagai hal-hal baik dan positif yang nantinya akan membentuk karakter dirinya.

Menjadi teladan bagi anak didiknya tidaklah mudah bagi seorang pendidik. Karena seorang pendidik lahir dan besar pada masa yang berbeda dengan anak didiknya, mungkin pada saat itu perkembangan ilmu pendidikan dan psikologis manusia belum sepesat sekarang, dan pengetahuan dari orang tua pada saat itu belum sebaik masa sekarang, sehingga karakter bawaan dari setiap pendidik yang beragam tentu akan menjadi tantangan tersendiri untuk dapat menjalankan perannya sebagai teladan yang baik bagi anak didiknya.

Walk the Talk, idiom ini mungkin tepat dijadikan pegangan bagi pendidik dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam karakter diri anak  didiknya. Tidak hanya cukup dengan mengajarkan, berceramah tentang apa saja nilai-nilai kebaikan itu, tetapi seorang seorang pendidik sejati akan menjadikan nilai-nilai kebaikan itu sebagai ilham dalam setiap perilakunya. Anak didiknya akan melihat sebuah contoh nyata, bukannya sekedar sebuah cerita tentang nilai-nilai kebaikan. Seorang anak usia dini akan melihat figur-figur lekatnya mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dia akan membangun pemahaman dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam tatanan nilai kehidupannya, perlahan namun akan menetap. Sebuah nilai yang tertanam karena sebuah keteladanan.

Dunia pendidikan anak usia dini telah membersamai saya melewati beberapa fase dalam kehidupan saya, sejak masih gadis dengan sudut pandang idealisnya tentang mendidik dan mengasuh anak, hingga saya menikah dan kemudian memiliki dua orang anak. Fase-fase yang terlewati banyak sekali memberikan pelajaran berharga yang mengubah sudut pandang saya yang awalnya serba ideal menjadi lebih realistis dalam menjalankan amanah sebagai orang tua dan peran lainnya.

Kini saya memahami saat orang tua mengeluhkan kenapa anaknya susah sekali diberitahu, atau saat ada orang tua yang menyampaikan bahwa mereka terpaksa harus menyebutkan nama gurunya hanya supaya sang anak mau menurut. 

Bukan karena orang tua tidak mampu, melainkan hanya karena jenis hubungan emosional yang berbeda saja, antara anak dengan orang tuanya versus antara anak dengan gurunya. 

Ikatan emosional yang sangat erat antara anak dengan orangtuanya yang terkadang membuat seorang anak atau justru orang tua yang tidak konsisten dalam menentukan batasannya. 

Berbeda halnya dengan hubungan emosional anak dengan gurunya dimana batasan-batasannya jelas dan dilakukan dengan lebih konsisten, sehingga mungkin guru tidak mengalami kendala, seperti yang dialami oleh orangtua dalam menanamkan nilai-nilai baik dalam perannya sebagai pendidik utama anak.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa apa yang kau pikirkan akan tercermin dalam ucapanmu, apa yang sering kau ucapkan akan tercermin pada perilakumu, dan perilaku yang sering kau lakukan akan menjadi karaktermu. Sedangkan sebuah karakter dalam diri seseorang, cenderung bersifat menetap karena terbentuk dalam waktu yang lama. 

Oleh karena itu sebagai orangtua maupun pendidik, sama-sama memiliki tanggungjawab yang besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Suri teladan dari kita sebagai pendidik anak akan menentukan akan menjadi seperti apa karakter anak-anak kita nanti. 

Jangan berharap anak-anak kita memiliki karakter diri yang tangguh, jika saat ini kita masih mudah mengeluh terhadap kondisi sulit yang kita alami, jangan berharap anak kita akan memiliki karakter jujur, jika kita masih menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. 

Semua tanggungjawab itu diamanahkan kepada kita sebagai orangtua dan pendidik anak-anak kita, dan itu adalah sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk kita sebagai ciptaan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun