Walk the Talk, idiom ini mungkin tepat dijadikan pegangan bagi pendidik dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam karakter diri anak  didiknya. Tidak hanya cukup dengan mengajarkan, berceramah tentang apa saja nilai-nilai kebaikan itu, tetapi seorang seorang pendidik sejati akan menjadikan nilai-nilai kebaikan itu sebagai ilham dalam setiap perilakunya. Anak didiknya akan melihat sebuah contoh nyata, bukannya sekedar sebuah cerita tentang nilai-nilai kebaikan. Seorang anak usia dini akan melihat figur-figur lekatnya mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dia akan membangun pemahaman dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam tatanan nilai kehidupannya, perlahan namun akan menetap. Sebuah nilai yang tertanam karena sebuah keteladanan.
Dunia pendidikan anak usia dini telah membersamai saya melewati beberapa fase dalam kehidupan saya, sejak masih gadis dengan sudut pandang idealisnya tentang mendidik dan mengasuh anak, hingga saya menikah dan kemudian memiliki dua orang anak. Fase-fase yang terlewati banyak sekali memberikan pelajaran berharga yang mengubah sudut pandang saya yang awalnya serba ideal menjadi lebih realistis dalam menjalankan amanah sebagai orang tua dan peran lainnya.
Kini saya memahami saat orang tua mengeluhkan kenapa anaknya susah sekali diberitahu, atau saat ada orang tua yang menyampaikan bahwa mereka terpaksa harus menyebutkan nama gurunya hanya supaya sang anak mau menurut.Â
Bukan karena orang tua tidak mampu, melainkan hanya karena jenis hubungan emosional yang berbeda saja, antara anak dengan orang tuanya versus antara anak dengan gurunya.Â
Ikatan emosional yang sangat erat antara anak dengan orangtuanya yang terkadang membuat seorang anak atau justru orang tua yang tidak konsisten dalam menentukan batasannya.Â
Berbeda halnya dengan hubungan emosional anak dengan gurunya dimana batasan-batasannya jelas dan dilakukan dengan lebih konsisten, sehingga mungkin guru tidak mengalami kendala, seperti yang dialami oleh orangtua dalam menanamkan nilai-nilai baik dalam perannya sebagai pendidik utama anak.
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa apa yang kau pikirkan akan tercermin dalam ucapanmu, apa yang sering kau ucapkan akan tercermin pada perilakumu, dan perilaku yang sering kau lakukan akan menjadi karaktermu. Sedangkan sebuah karakter dalam diri seseorang, cenderung bersifat menetap karena terbentuk dalam waktu yang lama.Â
Oleh karena itu sebagai orangtua maupun pendidik, sama-sama memiliki tanggungjawab yang besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Suri teladan dari kita sebagai pendidik anak akan menentukan akan menjadi seperti apa karakter anak-anak kita nanti.Â
Jangan berharap anak-anak kita memiliki karakter diri yang tangguh, jika saat ini kita masih mudah mengeluh terhadap kondisi sulit yang kita alami, jangan berharap anak kita akan memiliki karakter jujur, jika kita masih menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang kita inginkan.Â
Semua tanggungjawab itu diamanahkan kepada kita sebagai orangtua dan pendidik anak-anak kita, dan itu adalah sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk kita sebagai ciptaan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H