Mohon tunggu...
Adhimas Shaquille Omar Muzakki
Adhimas Shaquille Omar Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan seorang mahasiswa program studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga yang memiliki minat pada bidang keperempuanan dan kesetaraan gender.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Masculinity: Stigma Masyarakat Patriarki yang Membebankan Laki-laki

28 Mei 2022   09:30 Diperbarui: 28 Mei 2022   14:58 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Citra perempuan sudah sejak dahulu dapat dikatakan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki, bahkan sejak Abad Pertengahan hingga awal Abad Modern. Perempuan dan anak-anak disamakan dengan budak, yang dianggap memiliki fisik dan akal yang lemah. Bahkan petinggi-petinggi gereja pada saat itu menuding perempuan sebagai pembawa sial dan malapetaka serta penyebab kejatuhan Adam dari surga (Faizain, 2012). 

Pandangan yang "sebelah mata" terhadap perempuan (misogyny) ini mengakibatkan terbatasnya peran perempuan hingga di tingkat rumah tangga saja. Para perempuan tidak diperbolehkan untuk ikut campur dalam urusan laki-laki, misalnya dalam hak ekonomi, hak politik, hingga hak sosialnya pun terbatas.

Adanya pembedaan (marginalisasi) ini mengakibatkan perempuan menjadi the second sex (warga kelas dua) yang keberadaannya tidak begitu penting. Perempuan hanya dianggap penting dalam dua hal, yakni urusan rumah tangga dan pemeliharaan anak. Dari alasan inilah, para perempuan kemudian bergerak menuntut pemuliaan dan pemulihan harkat dan martabat mereka.

Feminisme sebagai sebuah gerakan pada awalnya berasal dari anggapan bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terdiri pula dari berbagai macam aliran feminisme, namun semua aliran tersebut memiliki satu paham yang sama bahwa hakikat dari perjuangan perempuan adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol diri dan kehidupan perempuan. 

Menurut Mansour Fakih, dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender & Transformasi Sosial (1996), hakikat gerakan feminisme adalah transformasi sosial, yang diartikan bahwa gerakan feminisme ini tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. 

Gerakan feminisme adalah perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem serta struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil tidak hanya bagi perempuan, juga untuk laki-laki (terutama kelas pekerja yang mengalami penindasan dan eksploitasi). 

Dengan demikian, gerakan feminisme bukan hanya sekadar upaya mengakhiri dominasi dan manifestasinya, seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan, melainkan perjuangan transformasi sosial untuk menciptakan struktur yang baru secara fundamental dan lebih baik.

Di Indonesia, gerakan feminisme lahir karena dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi historis perjuangan bangsa, program pembangunan, globalisasi dan reformasi. Perhatian utama gerakan feminisme di Indonesia pada masa sekarang adalah mengenai kondisi pekerja atau buruh perempuan, seperti buruh industri, petani, hingga tenaga kerja wanita (TKW) yang ditempatkan di luar negeri. 

Industrialisasi menyebakan permasalahan pekerja perempuan di Indonesia semakin melebar, hal ini juga ditambah parah dengan krisis ekonomi yang terjadi pada Mei 1999 akibat munculnya Gerakan Reformasi. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengulas lebih jauh sejarah perjuangan feminisme di Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai salah satu dampak dari pergesekan antara sistem patriarki dan gerakan feminisme, yakni timbulnya stigma toxic masculinity pada kalangan laki-laki masa kini. Sebelum lebih jauh masuk ke pembahasan yang mendetail, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai apa itu sistem patriarki dan mengapa itu dapat memberikan efek buruk pada stigma terhadap laki-laki.

Berikut ini adalah definisi patriarki menurut beberapa ahli. Pertama, W. Walby (1990, dalam Soman 2009: 225) memberikan definisi patriarki sebagai 'sistem struktur sosial yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk mendominasi, menekan, dan mengekspolitasi perempuan (a system of social structures and practices in which dominate, oppress, and exploit women)'. 

Walby juga mengklasifikasikan masyarakat patriarki menjadi dua, yakni patriarki privat (private patriarchy) dimana sistem patriarki terjadi di lingkup rumah tangga dan perempuan dilarang untuk ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Sementara itu, patriarki publik (public patriarchy) memberikan akses kepada perempuan untuk berperan di dalam masyarakat namun tidak memiliki akses terhadap hak ekonomi, kekuasaan, dan status.

Scott-Samuel (2008: 159) mendefinisikan patriarki sebagai sistem dominasi yang dilakukan oleh laki-laki, baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki lain yang lebih lemah. Sementara itu, Carol P. Christ (2016: 214) memberikan definisi patriarki sebagai akibat dari sikap turunan laki-laki zaman terdahulu yang dinilai berakar dari seni berperang.

"Patriarchy is a system of male dominance, rooted in the ethos of war which legitimates violence, sanctified by religious symbols, in which men dominate women through the control of female sexuality, with the intent of passing property to male heirs, and in which men who are heroes of war are told to kill men, and are permitted to rape women, to seize land and treasures, to exploit resources, and to own or otherwise dominate conquered people."

Ringkasnya, sistem patriarki merupakan suatu sistem masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan perempuan tidak memiliki kedudukan lain selain dibawah pengaruh laki-laki. Menurut Christ pula, sistem patriarki adalah sistem yang mendominasi atau melegitimasi penggunaan kekerasan secara paksa.

Dari tiga definisi patrarki tersebut, dapat ditarik sebuah garis lurus mengenai definisi umum patriarki, yakni suatu sistem sosial-masyarakat yang didominasi oleh laki-laki sehingga kaum perempuan tidak memiliki ruang untuk mengembangkan dirinya di masyarakat akibat tekanan dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki di sistem masyarakat tersebut. 

Dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam masyarakat patriarki juga tidak dapat terlepas dari konsep maskulinitas yang dianut. Kaum laki-laki merasa mereka dianugerahkan oleh Tuhan dengan kekuatan yang tidak dapat ditandingi kaum perempuan, sehingga mereka merasa dominasi tersebut merupakan hak dan kewajiban mereka dalam menjaga tatanan masyarakat. 

Namun, benarkah semua laki-laki merasa mereka memiliki kekuatan itu? Apakah ada akibat atau konsekuensi bagi kaum laki-laki yang tidak dapat menjalankan "tugas" mendominasi itu?

Salah satu akibat dari masyarakat patriarki yang menjadi "boomerang" bagi kaum laki-laki itu sendiri adalah munculnya stigma maskulinitas toksik (toxic masculinity). Istilah maskulinitas toksik (toxic masculinity) diperkenalkan oleh Shepherd Bliss saat terjadi gerakan laki-laki (mythopoetic men's movement) sekitar tahun 1980-an (Harrington 2021). 

Bliss menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan sosok ayahnya yang keras dan autoritarian. Dalam tulisannya, Harrington (2021), yang juga mengutip beberapa pendapat ahli kesehatan keluarga, menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat memiliki sifat toksik disebabkan renggangnya hubungan antara anak laki-laki dengan sosok ayah. 

Ahli kesehatan keluarga bernama Steve Biddulph (1997, dalam Harrington 2021: 347) mengatakan bahwa anak laki-laki membutuhkan ikatan yang kuat dengan sosok ayahnya untuk menghindari tumbuh menjadi seorang maskulin yang toksik. Sejak dekade 2010-an, istilah maskulinitas toksik mulai digunakan oleh kelompok feminis untuk menggambarkan sosok laki-laki yang gemar melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal, serta bersifat misogini (merendahkan harkat dan martabat perempuan).

Konsep maskulinitas yang disalahgunakan dapat menjadi maskulinitas toksik apabila tidak digunakan sesuai batasannya. Sering didengar di kalangan masyarakat perkataan seperti 'laki-laki tidak boleh menangis' atau 'laki-laki harus selalu kuat'. Sesungguhnya perkataan atau stigma-stigma seperti itu justru turut merendahkan harkat dan martabat laki-laki. 

Keadaan itu akan semakin parah apabila laki-laki tumbuh di masyarakat dengan sistem patriarki, dimana laki-laki 'dipaksa' untuk selalu kuat dan tidak boleh kalah dari perempuan. Karena adanya tekanan dari masyarakat patriarki dan toksik itulah, maka apabila seorang laki-laki yang memiliki sifat feminim atau bahkan perempuan yang bersifat maskulin akan dipandang aneh dan meyimpang.

Maskulinitas toksik sangat berbahaya karena mengakibatkan pembatasan definisi sifat laki-laki serta mengekang pertumbuhannya dalam masyarakat. Maskulinitas toksik juga memberikan beban dan tekanan bagi laki-laki karena mereka tidak diperbolehkan menunjukkan emosinya karena hal itu dianggap sebagai karakteristik feminim.

Oleh karena itu, sejak kemunculannya pada tahun 70-an, gelombang kedua gerakan feminisme tidak lagi eksklusif memperjuangkan hak perempuan, tetapi melebar menjadi perjuangan untuk melawan patriarki serta mewujudkan kesetaraan gender.

Melalui gerakan kesetaraan gender inilah, diharapkan sifat-sifat toksik dari maskulinitas tidak lagi membebankan laki-laki. Baik itu laki-laki maupun perempuan, semua manusia memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya dengan baik pada masyarakat. Untuk itu, perlu penanaman nilai kesadaran dan pola pikir sejak dini terhadap anak-anak bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan berhak atas pikiran dan perasaan mereka sendiri.

Referensi
Amin, Saidul. 2013. "Pasang Surut Gerakan Feminisme." Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender 12 (2): 146. https://doi.org/10.24014/marwah.v12i2.520.

Christ, Carol P. 2016. "A new definition of patriarchy: Control of women's sexuality, private property, and war." Feminist Theology 24 (3): 214--25. https://doi.org/10.1177/0966735015627949.

Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. "Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang." Mimbar, no. 3: 284--300.

Faizain, Khoirul. 2012. "Mengintip Feminisme Dan Gerakan Perempuan." Egalita VI (2): 70--79. http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1951.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Grieve, Rachel, Evita March, dan George Van Doorn. 2019. "Masculinity might be more toxic than we think: The influence of gender roles on trait emotional manipulation." Personality and Individual Differences 138 (September 2018): 157--62. https://doi.org/10.1016/j.paid.2018.09.042.

Harrington, Carol. 2021. "What is 'Toxic Masculinity' and Why Does it Matter?" Men and Masculinities 24 (2): 345--52. https://doi.org/10.1177/1097184X20943254.

Mastuarina, Dewi. 2021. "Laki-laki Butuh Feminisme Untuk Bebas dari Toxic Masculinity." 2021. https://www.qureta.com/post/laki-laki-butuh-feminisme-untuk-bebas-dari-toxic-masculinity.

Scott-Samuel, Alex. 2009. "Patriarchy, masculinities and health inequalities." Gaceta Sanitaria 23 (2): 159--60. https://doi.org/10.1016/j.gaceta.2008.11.007.

Soman, Uthara. 2009. "Patriarchy: Theoretical Postulates and Empirical Findings." Sociological Bulletin 58 (2): 253--72.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun