Mohon tunggu...
Adhimas Shaquille Omar Muzakki
Adhimas Shaquille Omar Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan seorang mahasiswa program studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga yang memiliki minat pada bidang keperempuanan dan kesetaraan gender.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Masculinity: Stigma Masyarakat Patriarki yang Membebankan Laki-laki

28 Mei 2022   09:30 Diperbarui: 28 Mei 2022   14:58 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Walby juga mengklasifikasikan masyarakat patriarki menjadi dua, yakni patriarki privat (private patriarchy) dimana sistem patriarki terjadi di lingkup rumah tangga dan perempuan dilarang untuk ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Sementara itu, patriarki publik (public patriarchy) memberikan akses kepada perempuan untuk berperan di dalam masyarakat namun tidak memiliki akses terhadap hak ekonomi, kekuasaan, dan status.

Scott-Samuel (2008: 159) mendefinisikan patriarki sebagai sistem dominasi yang dilakukan oleh laki-laki, baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki lain yang lebih lemah. Sementara itu, Carol P. Christ (2016: 214) memberikan definisi patriarki sebagai akibat dari sikap turunan laki-laki zaman terdahulu yang dinilai berakar dari seni berperang.

"Patriarchy is a system of male dominance, rooted in the ethos of war which legitimates violence, sanctified by religious symbols, in which men dominate women through the control of female sexuality, with the intent of passing property to male heirs, and in which men who are heroes of war are told to kill men, and are permitted to rape women, to seize land and treasures, to exploit resources, and to own or otherwise dominate conquered people."

Ringkasnya, sistem patriarki merupakan suatu sistem masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan perempuan tidak memiliki kedudukan lain selain dibawah pengaruh laki-laki. Menurut Christ pula, sistem patriarki adalah sistem yang mendominasi atau melegitimasi penggunaan kekerasan secara paksa.

Dari tiga definisi patrarki tersebut, dapat ditarik sebuah garis lurus mengenai definisi umum patriarki, yakni suatu sistem sosial-masyarakat yang didominasi oleh laki-laki sehingga kaum perempuan tidak memiliki ruang untuk mengembangkan dirinya di masyarakat akibat tekanan dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki di sistem masyarakat tersebut. 

Dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam masyarakat patriarki juga tidak dapat terlepas dari konsep maskulinitas yang dianut. Kaum laki-laki merasa mereka dianugerahkan oleh Tuhan dengan kekuatan yang tidak dapat ditandingi kaum perempuan, sehingga mereka merasa dominasi tersebut merupakan hak dan kewajiban mereka dalam menjaga tatanan masyarakat. 

Namun, benarkah semua laki-laki merasa mereka memiliki kekuatan itu? Apakah ada akibat atau konsekuensi bagi kaum laki-laki yang tidak dapat menjalankan "tugas" mendominasi itu?

Salah satu akibat dari masyarakat patriarki yang menjadi "boomerang" bagi kaum laki-laki itu sendiri adalah munculnya stigma maskulinitas toksik (toxic masculinity). Istilah maskulinitas toksik (toxic masculinity) diperkenalkan oleh Shepherd Bliss saat terjadi gerakan laki-laki (mythopoetic men's movement) sekitar tahun 1980-an (Harrington 2021). 

Bliss menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan sosok ayahnya yang keras dan autoritarian. Dalam tulisannya, Harrington (2021), yang juga mengutip beberapa pendapat ahli kesehatan keluarga, menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat memiliki sifat toksik disebabkan renggangnya hubungan antara anak laki-laki dengan sosok ayah. 

Ahli kesehatan keluarga bernama Steve Biddulph (1997, dalam Harrington 2021: 347) mengatakan bahwa anak laki-laki membutuhkan ikatan yang kuat dengan sosok ayahnya untuk menghindari tumbuh menjadi seorang maskulin yang toksik. Sejak dekade 2010-an, istilah maskulinitas toksik mulai digunakan oleh kelompok feminis untuk menggambarkan sosok laki-laki yang gemar melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal, serta bersifat misogini (merendahkan harkat dan martabat perempuan).

Konsep maskulinitas yang disalahgunakan dapat menjadi maskulinitas toksik apabila tidak digunakan sesuai batasannya. Sering didengar di kalangan masyarakat perkataan seperti 'laki-laki tidak boleh menangis' atau 'laki-laki harus selalu kuat'. Sesungguhnya perkataan atau stigma-stigma seperti itu justru turut merendahkan harkat dan martabat laki-laki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun