Mohon tunggu...
Adhimas Shaquille Omar Muzakki
Adhimas Shaquille Omar Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan seorang mahasiswa program studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga yang memiliki minat pada bidang keperempuanan dan kesetaraan gender.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Masculinity: Stigma Masyarakat Patriarki yang Membebankan Laki-laki

28 Mei 2022   09:30 Diperbarui: 28 Mei 2022   14:58 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keadaan itu akan semakin parah apabila laki-laki tumbuh di masyarakat dengan sistem patriarki, dimana laki-laki 'dipaksa' untuk selalu kuat dan tidak boleh kalah dari perempuan. Karena adanya tekanan dari masyarakat patriarki dan toksik itulah, maka apabila seorang laki-laki yang memiliki sifat feminim atau bahkan perempuan yang bersifat maskulin akan dipandang aneh dan meyimpang.

Maskulinitas toksik sangat berbahaya karena mengakibatkan pembatasan definisi sifat laki-laki serta mengekang pertumbuhannya dalam masyarakat. Maskulinitas toksik juga memberikan beban dan tekanan bagi laki-laki karena mereka tidak diperbolehkan menunjukkan emosinya karena hal itu dianggap sebagai karakteristik feminim.

Oleh karena itu, sejak kemunculannya pada tahun 70-an, gelombang kedua gerakan feminisme tidak lagi eksklusif memperjuangkan hak perempuan, tetapi melebar menjadi perjuangan untuk melawan patriarki serta mewujudkan kesetaraan gender.

Melalui gerakan kesetaraan gender inilah, diharapkan sifat-sifat toksik dari maskulinitas tidak lagi membebankan laki-laki. Baik itu laki-laki maupun perempuan, semua manusia memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya dengan baik pada masyarakat. Untuk itu, perlu penanaman nilai kesadaran dan pola pikir sejak dini terhadap anak-anak bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan berhak atas pikiran dan perasaan mereka sendiri.

Referensi
Amin, Saidul. 2013. "Pasang Surut Gerakan Feminisme." Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender 12 (2): 146. https://doi.org/10.24014/marwah.v12i2.520.

Christ, Carol P. 2016. "A new definition of patriarchy: Control of women's sexuality, private property, and war." Feminist Theology 24 (3): 214--25. https://doi.org/10.1177/0966735015627949.

Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. "Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang." Mimbar, no. 3: 284--300.

Faizain, Khoirul. 2012. "Mengintip Feminisme Dan Gerakan Perempuan." Egalita VI (2): 70--79. http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1951.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Grieve, Rachel, Evita March, dan George Van Doorn. 2019. "Masculinity might be more toxic than we think: The influence of gender roles on trait emotional manipulation." Personality and Individual Differences 138 (September 2018): 157--62. https://doi.org/10.1016/j.paid.2018.09.042.

Harrington, Carol. 2021. "What is 'Toxic Masculinity' and Why Does it Matter?" Men and Masculinities 24 (2): 345--52. https://doi.org/10.1177/1097184X20943254.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun