Hal-hal di atas menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Bali yang menjadi pendorong dan kontributor utama sektor pariwisata Indonesia. Mereka merasa diperas, tidak diperhatikan sama sekali. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, muncul ide untuk membentuk otonomi khusus pariwisata Bali. Selain itu, untuk pertama kalinya pula, muncul ide untuk menarik kontribusi sebesar 10 dollar AS untuk tiap wisman dan Rp10 ribu untuk tiap wisdom yang masuk ke Bali. Semua ini karena Anda tidak peduli kepada dunia pariwisata Bali.
Dalam hal infrastruktur, Anda juga sama sekali tidak peduli. Misalnya saja soal dermaga kapal pesiar dan yacht di berbagai pesisir Indonesia. Dermaga yang ada terlalu dangkal sehingga kapal pesiar dan yacht yang membawa wisman berkualitas tidak bisa bersandar. Akibatnya mereka hanya buang sauh jauh di lepas pantai; sama sekali tidak ada wisman yang mendarat untuk membelanjakan uangnya.
Persoalan lainnya, ketika berkunjung ke daerah, Anda bukannya mengidentifikasi persoalan pariwisata atau bertemu masyarakat setempat. Anda hanya mendatangi acara-acara seremonial (gunting pita, peresmian acara, seminar, meninjau event, dll). Sesudah acara, foto-foto, dimuat di media massa, ya sudah, selesai. Tidak mau tahu tentang masalah. Anda juga hanya bertemu dengan kalangan elite saja, terutama dengan pengusaha-pengusaha Jakarta, dan tidak mau bertemu dengan para pelaku langsung pariwisata dan masyarakat setempat. Anda justru tidak punya waktu untuk hal-hal yang lebih substantif dalam permasalahan sektor pariwisata.
Di dalam internal Kementerian Pariwisata, Anda selalu menganggap diri Anda sendiri sebagai CEO, bukan sebagai menteri. Ini paradigma yang salah total. Menteri adalah pembantu Presiden dan sekaligus abdi rakyat. Menteri bukanlah CEO, bukan seorang boss.
Sebagai menteri yang seharusnya bisa gerak cepat melakukan eksekusi, Anda ini termasuk lamban dan kebanyakan teori. Anda memperkenalkan banyak sekali istilah dan konsep seperti DOT BAS POS POP 3A 3S 3C, Destinasi Digital, Nomadic Tourism, Tourism 4.0, dan masih banyak lagi. Anda seolah ingin menunjukkan diri sebagai orang pintar, namun akibatnya hal ini malah membingungkan banyak kalangan. Orang yang benar-benar pintar mampu menyederhanakan dan mengkomunikasikan sesuatu yang rumit dengan jelas. Teori-teori dan istilah-istilah itu seharusnya cukup "diletakkan di belakang kepala", tidak perlu diajarkan ke semua orang. Lagi pula, teori-teori dan istilah-istilah Anda itu sangat sulit dipahami.
Masalah lainnya adalah keranjingan Anda terhadap awards (penghargaan-penghargaan). Awards ini adalah hasil sampingan saja, bukan tujuan utama dan tujuan akhir. Anda selalu mengatakan awards ini untuk menambah kepercayaan diri kita. Padahal, awards yang selama ini banyak Anda peroleh itu sebenarnya awards abal-abal alias tidak jelas kriterianya. Ada awards yang ditentukan oleh banyaknya voting, ada juga yang karena penyelenggaranya mendapat banyak bisnis dari Anda (Kementerian Pariwisata). Jadi awards itu sebagai imbal jasa, bukan karena Anda memang benar-benar layak mendapatkan awards itu. Anda juga berpikir sektoral dengan menonjolkan merek "Wonderful Indonesia", bukan "Indonesia"-nya. Karena itu awards ini tidak mampu melibatkan pihak lain di luar Kementerian Pariwisata.
Kalau Anda bilang kesuksesan diukur dari banyaknya awards, ini salah besar. Marilah kita bandingkan dengan data yang terukur. Kontribusi sektor pariwisata di Indonesia kepada GDP menempati peringkat 152 dari 185 negara. Sementara itu, pembukaan lapangan kerja peringkat 84, dan kontribusi ke ekspor peringkat 113. Peringkat yang sangat sangat rendah. Jadi award-award itu hanya untuk menutupi kegagalan Anda!
Masalah lainnya terkait dengan apa yang Anda sebut sendiri sebagai "Shadow Management" dalam Kementerian Pariwisata.
Anda mengatakan bahwa Anda membutuhkan orang-orang luar untuk membantu dan mendampingi para birokrat ASN (aparatur sipil negara) yang ada di Kementerian. Karena itulah Anda merekrut sendiri orang-orang luar untuk menjadi Staf Khusus, Tim Ahli, Tim Percepatan, dan sebagainya dan menyebutnya sebagai "Shadow Management". Namun, nyatanya orang-orang luar yang Anda rekrut ini adalah orang-orang yang bermasalah, tidak kompeten, tidak berintegritas, dan terjadi konflik kepentingan.
Sebut saja Don Kardono yang pernah diperiksa KPK dalam kasus korupsi Jero Wacik. Atau Waizly Darwin yang terlibat kasus rebranding Yogyakarta senilai Rp1,5 miliar ("kasus Togua"). Ada pula Hiramsyah S Thaib yang pernah memimpin megaproyek kontroversial BNR (Bakrie Nirwana Resort) pada masa Orde Baru. Sementara itu Priyantono Rudito pernah terlibat kasus sistem outsourcing sehingga didemo karyawan PT Telkom. Lainnya, Judi Rifajantoro ternyata adalah teman lama Anda dari PT Telkom. Sementara Riyanto Sofyan adalah pemilik hotel syariah. Ada pula Riant Nugroho yang pernah menggunakan fasilitas kedutaan untuk kepentingan pribadi. Itu hanya beberapa contoh nama saja.
"Shadow Management" yang jumlahnya luar biasa banyaknya ini mendapatkan honor dan fasilitas yang fantastis namun tidak jelas kerja dan pertanggungjawabannya. Mereka memanfaatkannya untuk personal branding (personal interest), bukan bekerja untuk kepentingan negara. Lebih banyak foto-foto pribadi mereka daripada laporan tentang pekerjaan mereka. Mereka ini berada di luar struktur pemerintahan, karena itu tidak tersentuh norma-norma Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Keberadaan "Shadow Management" ini juga telah melecehkan hasil kerja para menteri pariwisata sebelum Anda dan juga para birokrat ASN yang telah berkarya selama puluhan tahun mengembangkan pariwisata Indonesia.
Masalah lainnya adalah soal GENPI (Generasi Pesona Indonesia).