Bapak Arief Yahya,
Pertama-tama saya ingin memperkenalkan diri. Saya bukanlah siapa-siapa, hanya seorang anggota masyarakat yang peduli terhadap dunia pariwisata Indonesia.
Saya akan langsung saja. Terus-terang saya bingung sewaktu Anda diperkenalkan oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pariwisata pada tahun 2014. Kenapa demikian? Karena Anda tidak punya rekam jejak sama sekali dalam dunia pariwisata. Walaupun demikian, saya memberikan benefit of the doubt kepada Anda. Saat itu Anda menjabat sebagai CEO PT Telkom Indonesia dan, katanya, sukses memimpin perusahaan tersebut. Selain itu, lagi-lagi katanya, Anda juga dikenal sebagai jago pemasaran. Maka, harapan saya saat itu, Anda akan bisa mengembangkan dunia pariwisata Indonesia dari sektor IT dan pemasaran.
Ternyata harapan saya ini keliru.
Sekarang, hampir lima tahun setelah Anda menjabat sebagai menteri, dunia pariwisata Indonesia bukannya semakin maju. Namun justru berjalan di tempat jika tidak mau dibilang semakin terpuruk. Anda tidak punya leadership, managerial skills, dan visi pariwisata. Parahnya, Anda juga sama sekali tidak mau belajar tentang dunia pariwisata. Banyak orang yang sukses di bidang yang sama sekali belum pernah digelutinya, termasuk sejumlah menteri rekan Anda, karena mereka mau belajar. Sayangnya, Anda tidak termasuk di sini.
Saat-saat pertama menjabat Anda sudah membuat kesan negatif, ketika ada protes dari kalangan perfilman Indonesia tentang "Skandar Berlinale 2015" di Jerman. Bukannya memproses lebih lanjut oknum pejabat Kementerian Pariwisata yang terlibat, Anda saat itu malah terlihat melindungi oknum tersebut. Namun saat itu saya masih bisa memaklumi karena Anda relatif belum lama menjabat. Jadi mungkin Anda tidak tahu permasalahan "mafia" di Kementerian Pariwisata.
Masalah jauh lebih serius terjadi dalam soal target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Sebagai menteri, Anda seharusnya melihat ini sebagai tantangan untuk mengembangkan daerah wisata selain Bali dan juga sebagai tantangan untuk mendatangkan devisa bagi negara. Bukan membabi-buta menjalankan program untuk mendatangkan wisman tidak berkualitas yang sama sekali tidak mendatangkan devisa (zero dollar tourism). Seperti fasilitas bebas visa bagi 169 negara sejak tahun 2016.
Sampai saat ini, tidak pernah ada evaluasi fasilitas bebas visa yang telah menghilangkan potensi devisa puluhan triliun rupiah. Kebijakan bebas visa ini justru telah dimanfaatkan oleh jejaring mafia bisnis pariwisata Tiongkok sebagaimana yang terjadi di Bali. Uang dari wisman Tiongkok hanya berputar-putar di sekitar jejaring mafia ini saja, tidak ada yang masuk sama sekali ke kas negara atau berdampak kepada ekonomi masyarakat setempat.
Selain itu, tingkat kriminalitas juga meningkat; misalnya saja kasus TKA ilegal, cyber crime, ATM skimming, hipnotis, tour guide ilegal, fotografer pre-wedding ilegal, dan masih banyak lagi. Tidak heran jika saat ini di kalangan dunia pariwisata internasional muncul kesan bahwa Indonesia (khususnya Bali) telah "dijual murah".
Anda tidak mampu mengembangkan daerah tujuan wisata (DTW) selain Bali. Kalaupun ada yang maju, Raja Ampat misalnya, itu karena peran swasta, bukan Kementerian Pariwisata. Penyebutan "10 Bali Baru" untuk DTW-DTW tersebut juga menimbukan banyak masalah. Di DTW yang bersangkutan muncul banyak pertanyaan, apakah ini berarti nantinya di tempatnya juga bakal ada night club, diskotik, turis berbikini yang lalu-lalang di jalan, seperti di Bali? Sebaliknya di Bali, juga muncul banyak pertanyaan, jika sudah ada "Bali Baru", lantas bagaimana nasib "Bali Lama"? Setiap DTW punya keunikan dan potensi pariwisata tersendiri. Sangat keliru jika semuanya disamaratakan dan dijuluki "10 Bali Baru".
Masyarakat Bali juga kecewa karena di tengah sektor akomodasi pariwisata yang sudah mendekati titik jenuh di Bali, Anda justru mengundang investor-investor asing bermodal besar. Akibatnya saat ini banyak akomodasi pariwisata milik masyarakat (losmen, homestay, hotel melati) yang kesulitan dan bahkan tidak sedikit yang tutup. Muncul pula masalah-masalah serius seperti krisis air, sampah, kemacetan, dan sebagainya yang dialami masyarakat Bali.
Hal-hal di atas menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Bali yang menjadi pendorong dan kontributor utama sektor pariwisata Indonesia. Mereka merasa diperas, tidak diperhatikan sama sekali. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, muncul ide untuk membentuk otonomi khusus pariwisata Bali. Selain itu, untuk pertama kalinya pula, muncul ide untuk menarik kontribusi sebesar 10 dollar AS untuk tiap wisman dan Rp10 ribu untuk tiap wisdom yang masuk ke Bali. Semua ini karena Anda tidak peduli kepada dunia pariwisata Bali.
Dalam hal infrastruktur, Anda juga sama sekali tidak peduli. Misalnya saja soal dermaga kapal pesiar dan yacht di berbagai pesisir Indonesia. Dermaga yang ada terlalu dangkal sehingga kapal pesiar dan yacht yang membawa wisman berkualitas tidak bisa bersandar. Akibatnya mereka hanya buang sauh jauh di lepas pantai; sama sekali tidak ada wisman yang mendarat untuk membelanjakan uangnya.
Persoalan lainnya, ketika berkunjung ke daerah, Anda bukannya mengidentifikasi persoalan pariwisata atau bertemu masyarakat setempat. Anda hanya mendatangi acara-acara seremonial (gunting pita, peresmian acara, seminar, meninjau event, dll). Sesudah acara, foto-foto, dimuat di media massa, ya sudah, selesai. Tidak mau tahu tentang masalah. Anda juga hanya bertemu dengan kalangan elite saja, terutama dengan pengusaha-pengusaha Jakarta, dan tidak mau bertemu dengan para pelaku langsung pariwisata dan masyarakat setempat. Anda justru tidak punya waktu untuk hal-hal yang lebih substantif dalam permasalahan sektor pariwisata.
Di dalam internal Kementerian Pariwisata, Anda selalu menganggap diri Anda sendiri sebagai CEO, bukan sebagai menteri. Ini paradigma yang salah total. Menteri adalah pembantu Presiden dan sekaligus abdi rakyat. Menteri bukanlah CEO, bukan seorang boss.
Sebagai menteri yang seharusnya bisa gerak cepat melakukan eksekusi, Anda ini termasuk lamban dan kebanyakan teori. Anda memperkenalkan banyak sekali istilah dan konsep seperti DOT BAS POS POP 3A 3S 3C, Destinasi Digital, Nomadic Tourism, Tourism 4.0, dan masih banyak lagi. Anda seolah ingin menunjukkan diri sebagai orang pintar, namun akibatnya hal ini malah membingungkan banyak kalangan. Orang yang benar-benar pintar mampu menyederhanakan dan mengkomunikasikan sesuatu yang rumit dengan jelas. Teori-teori dan istilah-istilah itu seharusnya cukup "diletakkan di belakang kepala", tidak perlu diajarkan ke semua orang. Lagi pula, teori-teori dan istilah-istilah Anda itu sangat sulit dipahami.
Masalah lainnya adalah keranjingan Anda terhadap awards (penghargaan-penghargaan). Awards ini adalah hasil sampingan saja, bukan tujuan utama dan tujuan akhir. Anda selalu mengatakan awards ini untuk menambah kepercayaan diri kita. Padahal, awards yang selama ini banyak Anda peroleh itu sebenarnya awards abal-abal alias tidak jelas kriterianya. Ada awards yang ditentukan oleh banyaknya voting, ada juga yang karena penyelenggaranya mendapat banyak bisnis dari Anda (Kementerian Pariwisata). Jadi awards itu sebagai imbal jasa, bukan karena Anda memang benar-benar layak mendapatkan awards itu. Anda juga berpikir sektoral dengan menonjolkan merek "Wonderful Indonesia", bukan "Indonesia"-nya. Karena itu awards ini tidak mampu melibatkan pihak lain di luar Kementerian Pariwisata.
Kalau Anda bilang kesuksesan diukur dari banyaknya awards, ini salah besar. Marilah kita bandingkan dengan data yang terukur. Kontribusi sektor pariwisata di Indonesia kepada GDP menempati peringkat 152 dari 185 negara. Sementara itu, pembukaan lapangan kerja peringkat 84, dan kontribusi ke ekspor peringkat 113. Peringkat yang sangat sangat rendah. Jadi award-award itu hanya untuk menutupi kegagalan Anda!
Masalah lainnya terkait dengan apa yang Anda sebut sendiri sebagai "Shadow Management" dalam Kementerian Pariwisata.
Anda mengatakan bahwa Anda membutuhkan orang-orang luar untuk membantu dan mendampingi para birokrat ASN (aparatur sipil negara) yang ada di Kementerian. Karena itulah Anda merekrut sendiri orang-orang luar untuk menjadi Staf Khusus, Tim Ahli, Tim Percepatan, dan sebagainya dan menyebutnya sebagai "Shadow Management". Namun, nyatanya orang-orang luar yang Anda rekrut ini adalah orang-orang yang bermasalah, tidak kompeten, tidak berintegritas, dan terjadi konflik kepentingan.
Sebut saja Don Kardono yang pernah diperiksa KPK dalam kasus korupsi Jero Wacik. Atau Waizly Darwin yang terlibat kasus rebranding Yogyakarta senilai Rp1,5 miliar ("kasus Togua"). Ada pula Hiramsyah S Thaib yang pernah memimpin megaproyek kontroversial BNR (Bakrie Nirwana Resort) pada masa Orde Baru. Sementara itu Priyantono Rudito pernah terlibat kasus sistem outsourcing sehingga didemo karyawan PT Telkom. Lainnya, Judi Rifajantoro ternyata adalah teman lama Anda dari PT Telkom. Sementara Riyanto Sofyan adalah pemilik hotel syariah. Ada pula Riant Nugroho yang pernah menggunakan fasilitas kedutaan untuk kepentingan pribadi. Itu hanya beberapa contoh nama saja.
"Shadow Management" yang jumlahnya luar biasa banyaknya ini mendapatkan honor dan fasilitas yang fantastis namun tidak jelas kerja dan pertanggungjawabannya. Mereka memanfaatkannya untuk personal branding (personal interest), bukan bekerja untuk kepentingan negara. Lebih banyak foto-foto pribadi mereka daripada laporan tentang pekerjaan mereka. Mereka ini berada di luar struktur pemerintahan, karena itu tidak tersentuh norma-norma Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Keberadaan "Shadow Management" ini juga telah melecehkan hasil kerja para menteri pariwisata sebelum Anda dan juga para birokrat ASN yang telah berkarya selama puluhan tahun mengembangkan pariwisata Indonesia.
Masalah lainnya adalah soal GENPI (Generasi Pesona Indonesia).
Komunitas ini telah melenceng jauh dari visi pembentukannya dulu sebagai komunitas generasi muda Indonesia peminat pariwisata yang independen, tidak melekat kepada Kementerian. GENPI sekarang telah menjadi pasukan buzzers pribadi Anda. Aktivitasnya tidak jelas selain membuat hashtag di Twitter. Jika sudah menjadi Trending Topic seolah-olah itu sudah menjadi suatu pencapaian. Karena itulah, penggagas GENPI, Taufan Rachmadi, sangat kecewa dan mengundurkan diri dari GENPI dan bahkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR (Caleg) dari partai oposisi pemerintah (Gerindra).
Lalu soal anggaran.
Anda selalu mengeluhkan soal anggaran Kementerian Pariwisata yang kecil. Namun anggaran yang sudah ada selama ini justru tidak digunakan secara efisien dan efektif, hanya buang-buang uang saja karena proyek-proyek yang tidak jelas. Pemenang lelang/pelaksana proyek-proyek ini juga diragukan kredibilitasnya dan hanya berkisar pada perusahaan yang itu-itu saja.
Saya akan ambil contoh beberapa proyek saja sebagaimana yang bisa ditelusuri di http://lpse.kemenpar.go.id/eproc4/lelang.
Ada puluhan proyek bernilai puluhan miliar rupiah yang bernama "Publikasi Branding Pariwisata Indonesia di Media Elektronik". Kemudian juga ada proyek "Publikasi Branding Pariwisata Melalui Media Online Wholesaler" Rp10 miliar, proyek "Bali Online Influencer Campaign" Rp6,3 miliar, proyek "Programmatic Marketing melalui Media Online Internasional" Rp5 miliar, proyek "Lisensi Copyright Lagu What a Wonderful World" Rp8 miliar.
Kemudian ada proyek "Misi Penjualan Destinasi Pariwisata Prioritas Danau Toba (Paket Perjalanan dan Atraksi) di Dalam Negeri" senilai Rp8 miliar dan proyek "World Travel Market (WTM) London" Rp8,5 miliar yang keduanya dimenangkan PT Karma Wi Bangga padahal perusahaan ini pernah terlibat kasus korupsi.
Ada pula proyek "Penyusunan Branding Destinasi Danau Toba" Rp2 miliar, proyek "Peningkatan Promosi Branding Triangle (Bali-Lombok-Labuan Bajo)" senilai Rp1 miliar, proyek "Penyusunan Branding Destinasi Palembang" senilai Rp2 miliar, dan proyek "Pemetaan Indeks Daya Saing Sepuluh Pasar Prioritas Kepariwisataan Indonesia" senilai Rp2 miliar yang semuanya dikerjakan oleh PT MarkPlus Indonesia padahal perusahaan ini pernah terlibat kasus proyek "The Real Wonder of the World" Komodo (tandingan proyek "New 7 Wonders" Komodo) bersama Sapta Nirwandar tahun 2011.
Selain itu ada pula proyek "Publikasi Branding Pariwisata Indonesia melalui Kerjasama dengan Pelaku Industri Online Internasional" senilai Rp91,7 miliar yang dikerjakan oleh bekas perusahaan Anda, PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Dengan berbagai proyek bernilai sebesar itu, apa hasilnya? Hanya berupa tumpukan dokumen laporan yang tebal-tebal namun rakyat Indonesia tidak pernah merasakan manfaatnya.
Terlihat jelas bahwa anggaran yang berasal dari uang rakyat Indonesia hanya Anda gunakan untuk membagi-bagi proyek kepada kenalan Anda atau kenalan pejabat-pejabat Kementerian Pariwisata saja. Banyak proyek Kementerian Pariwisata yang dilaksanakan di daerah namun justru tidak diketahui oleh pemerintah atau masyarakat di daerah tersebut. Mereka hanya jadi penonton saja. Pemenang proyeknya lagi-lagi dari Jakarta, teman Anda atau rekanan pejabat atau eks pejabat Kementerian Pariwisata.
Masih ratusan dan bahkan mungkin ribuan lagi proyek di Kementerian Pariwisata yang tidak jelas tujuannya, tidak jelas penilaian pagu anggarannya, dan juga tidak jelas penilaian pemilihan pemenang lelang/pelaksana proyek tersebut.
Masih soal buang-buang anggaran. Coba, berapa biaya pasang iklan di billboard di New York dan taksi di London yang Anda bangga-banggakan itu? Mana hasilnya? Strategi seperti ini adalah strategi pemasaran yang kuno dan tidak peka anggaran.
Selain itu, untuk apa pejabat Kementerian Pariwisata ikut-ikutan mengatur proyek-proyek promosi dan ikut-serta keluar negeri melakukan Sales Mission, Travel Fair, Hot Deals, Fam Trip, Table Top dan sebagainya? Itu semua biarlah dilakukan pihak swasta (maskapai penerbangan, asosiasi pariwisata, travel agent, hotel, dan sebagainya). Terkait proyek-proyek promosi ini, yang harus dilakukan Kementerian Pariwisata adalah membuat regulasi agar tidak saling tumpang-tindih. Sering terjadi, dalam suatu pameran, baik di dalam maupun di luar negeri, ada sejumlah peserta dari Kementerian Pariwisata, Dinas Pariwisata Provinsi, Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota, pihak swasta (travel agent, hotel) menjual produk (destinasi wisata) yang sama tapi berbeda-beda informasinya. Semua ini tentu membingungkan pihak buyer dan juga wisatawan.
Masalah lainnya adalah proyek sertifikasi pariwisata yang baru saja Anda luncurkan dengan menggandeng GSTC (Global Sustainable Tourism Council). Pertanyaan pertama, apa urgensinya proyek sertifikasi ini? Lagipula, sudah ada Kementerian Pariwisata, sudah ada STP (Sekolah Tinggi Pariwisata), sudah ada Fakultas Pariwisata di banyak kampus, mengapa harus bekerjasama dengan GSTC untuk sertifikasi? Untuk bagi-bagi proyek?
Kasus lainnya yang juga membingungkan adalah proyek teknologi MPD (mobile positioning data). Selain menghabiskan anggaran yang sangat besar dan kredibilitas vendor proyek ini yang patut dipertanyakan, cara seperti ini jelas-jelas melanggar privacy. Wisatawan mancanegara "disedot" datanya tanpa seizin mereka.
Masih soal buang-buang anggaran. Ketika terjadi banyak musibah bencana alam di sejumlah destinasi pariwisata Indonesia, terutama Bali dan Lombok, Anda sama sekali tidak punya empati. Anda malah membuang-buang uang dengan membuat FGD, seminar, rakornas, dan sebagainya di hotel-hotel paling mewah di Jakarta seperti (Ritz Carlton, Kempinski, Westin, dan masih banyak lagi). Apa urgensinya mengadakan acara-acara seperti itu, apalagi tempatnya di hotel-hotel kelas atas?
Satu masalah lain yang tidak kalah penting: Anda itu berpikir sektoral dan hanya mengedepankan ego pribadi.
Saya tidak habis pikir, kenapa Anda seperti membangun "kerajaan" sendiri di Kementerian Pariwisata dengan Anda sebagai "raja"-nya. Contohnya ketika Bapak Peter F. Gontha, Dubes RI di Polandia, ingin bertemu di Gedung Sapta Pesona, Anda malah meremehkan Beliau. Padahal Pak Peter sudah memiliki jam terbang dan kontribusi yang tidak sedikit dalam bidang pariwisata, terutama dalam penyelenggaraan Java Jazz Festival yang sudah berlangsung belasan tahun.
Contoh lain yang paling nyata terlihat ketika pelaksanaan event-event internasional berskala besar seperti Asian Games, Asian Para Games, atau IMF-World Bank Annual Meetings. Kontribusi Anda sangat minim. Anda tidak bisa memanfaatkan momentum-momentum tersebut untuk mempromosikan Indonesia. Contoh kecil saja namun jelas-jelas menunjukkan ego Anda: banyak usulan agar boneka cindera mata Asian Games (Bhin Bhin, Atung, Kaka) yang sangat populer saat itu bisa menjadi cindera mata pariwisata Indonesia. Namun Anda menolak tanpa alasan yang jelas.
Dengan berbagai permasalahan di atas, sektor pariwisata Indonesia selama hampir lima tahun belakangan ini sebenarnya berjalan di tempat. Ada kesalahan mendasar dan strategis dalam kebijakan Anda selama ini. Anda gagal mengembangkan destinasi wisata di luar Bali. Kedatangan wisatawan mancanegara lewat bandara masih didominasi di Bali (45%), baru disusul di Cengkareng 20%, Kepulauan Riau 15%, dan sisanya 20% dari bandara lain. Anda tidak bisa mengklaim kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebagai keberhasilan Anda. Kenaikan ini berjalan secara alamiah terutama didorong oleh para pelaku pariwisata dari sektor swasta.
Lebih buruk lagi, Anda tidak mau melakukan evaluasi dan menyatakan bertanggung-jawab. Ketika target kunjungan dan devisa wisatawan mancanegara tidak tercapai, Anda malah mengkambinghitamkan berbagai bencana alam (erupsi Gunung Raung di Banyuwangi, erupsi Gunung Agung di Bali, gempa Lombok), kurangnya anggaran, kendala infrastruktur, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Pokoknya Anda merasa tidak keliru.
Melalui Surat Terbuka ini, saya ingin Anda minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan terutama kepada Presiden Joko Widodo yang telah memberikan amanah kepada Anda namun telah Anda salah-gunakan. Anda juga harus mengundurkan diri secepatnya agar kerusakan yang telah Anda timbulkan tidak semakin parah.
Demi pariwisata Indonesia,
Adhi Mahendra
Tembusan Yth.:
- Presiden RI Joko Widodo
- Komisi X DPR RI
- KPK
- Kejaksaan Agung
- PPATK
- Ombudsman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H