Injeksi = Investasi (I) + Belanja Pemerintah (G) + Ekspor (X)
Injeksi = Penarikan
Investasi (I) + Belanja Pemerintah (G) + Ekspor (X) = Tabungan (S) + Pajak (T) + Impor (M)
Dampak – dampak ini harus dipertimbangkan dalam gambar besar perlambatan perekonomian Indonesia, dimulai dengan pemahaman dan analisis makroekonomi dasar. Pada dasarnya, secara jangka pendek perekonomian dapat melaju terlalu cepat/terlalu lambat dikarenakan dua hal. Pertama adalah tingkat konsumsi, dan kedua adalah keseimbangan antara injection (injeksi) dan withdrawal (penarikan). Dampak konsumsi relatif mudah dipahami. Kian konsumtif suatu masyarakat, maka cenderung semakin cepat pertumbuhan ekonominya. Keseimbangan antara injeksi dan penarikan, kendati demikian, membutuhkan penjelasan sedikit lebih panjang.
Gambar Besar Makroekonomi Indonesia
Kita dapat membayangkan perekonomian suatu negara sebagai air di dalam ember yang retak di beberapa bagiannya. Semakin penuh maka semakin besar aktivitas ekonomi yang ada, dan sebaliknya. Perputaran ekonomi yang ada di dalam ember tersebut kendati demikian, dapat “merembes” keluar dari ember melalui tiga retakan, masing – masing adalah impor, tabungan, dan pajak. Semakin banyak kita mengimpor barang, menabung, dan membayar pajak, maka semakin sedikit dana yang dapat digunakan untuk konsumsi, sedikit air yang ada di dalam ember dan imbasnya semakin lamban roda perekonomian. Air di dalam ember ini kendati demikian dapat diisi ulang melalui tiga keran, ekspor, investasi, dan belanja negara. Semakin banyak injeksi, semakin banyak air yang dikucurkan, semakin banyak dana untuk konsumsi. Bila jumlah air yang dikucurkan ke dalam lebih banyak dari yang merembes keluar maka ekonomi akan tumbuh. Sebaliknya bila jumlah air yang dikucurkan tidak dapat mengimbangi apa yang merembes keluar, maka ekonomi akan mengecil.
Yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan sebenarnya masihlah skenario yang pertama. Jumlah air yang dikucurkan memang masih lebih banyak ketimbang yang merembes keluar, namun selisih yang ada kian menipis. Bilamana dirunut, ada dua masalah dasar yang memicu perlambatan akhir – akhir ini. Pertama adalah perlambatan ekspor. Ekspor Indonesia pada Juli 2015 lebih kecil 22% ketimbang pada Maret 2012 (dihitung sebagai rerata tiga bulanan). Hal ini dipicu dari pecahnya gelembung harga komoditas primer (bahan baku) sejak sekitar pertengahan 2012. Ini menjadi masalah besar bagi Indonesia karena sepanjang terjadinya gelembung harga tersebut (ketika harga komoditas primer melambung tinggi), Indonesia “terlena”. Di tahun 2002, tahun – tahun awal dimulainya gelembung, “hanya” 50% dari ekspor Indonesia yang berwujud komoditas primer. Di tahun 2014, rasio tersebut hampir menyentuh 60% (pada puncaknya bahkan sempat menyentuh angka 66%). Tak pelak kian berkuranglah jumlah air yang mengucur ke ember perekonomian Indonesia ketika harga berbagai komoditas primer ambruk sejak pertengahan 2012.
Sumber masalah kedua adalah normalisasi kebijakan moneter AS. Bilamana dijalankan, normalisasi ini akan menghentikan pasokan dollar murah yang sudah sekitar tujuh tahun disediakan oleh AS (dan dinikmati juga oleh mereka nun jauh di luar AS). Ketika dollar kian mahal, investor akan cenderung menukarkan mata uangnya dengan dollar.Kecenderungan ini diperkuat pula oleh dua faktor. Pertama, normalisasi juga akan mengerek naik suku bunga di AS, sehingga keuntungan berinvestasi di AS semakin meningkat. Kedua, perekonomian di negara berkembang sendiri sedang melambat, kurang menjanjikan.