Mohon tunggu...
Adhelano Tuakia
Adhelano Tuakia Mohon Tunggu... wiraswasta -

Supremasi hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah SE Kapolri tentang "Hate Speech", Membunuh Kebebasan Bersuara dan Berpendapat?

2 November 2015   21:08 Diperbarui: 4 November 2015   22:07 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik di buat heboh dan panik khususnya para pengguna media sosial (nitizen) dengan Diterbitkannya Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech hal ini akan menjadi perbincangan yang menarik dimasyarakat.

SE dengan Nomor SE/06/X/2015 tersebut diteken Jenderal Bad99rodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.

Dalam SE disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Bentuk, Aspek dan Media

Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

1. Penghinaan,

2. Pencemaran nama baik,

3. Penistaan,

4. Perbuatan tidak menyenangkan,

5. Memprovokasi,

6. Menghasut,

7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.

Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:

1. Suku,

2. Agama,

3. Aliran keagamaan,

4. Keyakinan atau kepercayaan,

5. Ras,

6. Antargolongan,

7. Warna kulit,

8. Etnis,

9. Gender,

10. Kaum difabel,

11. Orientasi seksual.

Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:

1. Dalam orasi kegiatan kampanye,

2. Spanduk atau banner,

3. Jejaring media sosial,

4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),

5. Ceramah keagamaan,

6. Media massa cetak atau elektronik,

7. Pamflet.

Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.

Prosedur penanganan

Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.

Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.

Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.

Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:

– Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat,

– Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,

– Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,

– Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;

Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:

– KUHP,

– UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

– UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,

– UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan

– Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik 

Diera demokrasi seperti sekarang ini orang bebas menghujat, mencela, memfitna, membuat propaganda disitus situs yang berkedok islam, dan situs situs lainnya padahal akurasi kebenaran dari media atau situs abal abal dipertanyakan kebenarannya. Demokratis itu bukan berarti bebas melanggar UU. Tetap harus dalam koridornya tidak melanggar norma norma hukum. 

Kedudukan SE dalam sistem hukum di Indonesia 

Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edarn Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:

a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak 

b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan 

b. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 

c. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

Kedudukan SE dalam sistem hukum Indonesia bukanlah termasuk peraturan perundang-udangan. Dengan demikian, SE Kapolri tidak dapat dijadikan sebagai dasar pemidanaan seorang yang telah melakukan perbuatan Ujaran Kebencian.

Walau bukan peraturan perundang-undangan, Surat edaran tetap masuk  peraturan negara sebagai peraturan kebijakan (beleidsregels) seperti instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain.

peraturan negara terbagi 3 kelompok yakni pertama adalah peraturan perundang-undangan seperti UUD, UU, PP, Perpres, dll. Kedua, peraturan kebijakan (beleidsregels) seperti Surat edaram, instruksi dll, kemudian yang ketiga adala penetapan  (beschikking) seperti surat keputusan dan lain-lain.

Yang dapat mengatur masyarakat umum adalah peraturan perundang-undangan yang hanya dibuat oleh badan legislatif dan eksekutif sebagaimana telah diatur dalam konstitusi. Sesuai dengan maksud pada ayat (1). Dan menurut UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan YANG BERLAKU SAAT INI

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Yang boleh mengatur masyarakat umum adalah peraturan perundang-undangan yang hakikatnya merupakan kewenangan lembaga legislatif dan badan eksekutif sebagai mana yang diatur dalam pasal di atas.

Kesimpulannya 

Salah satu latar belakang adanya surat edaran ini dikarenakan begitu banyaknya perkataan dan bahasa Kebencian atau Hate Speech yang tersebar lewat media sosial seperti facebook, twitter dll. Hal ini dianggap meresahkan dan memiliki dampak negatif bagi masyarakat.

tujuan SE Kapolri diterbitkan untuk internal kepolisian agar memiliki pemahaman yang terkait ujaran kebencian, aspek kebencian, media yang digunakan dan bagaimana prosedur penanganan. 

SE ini bukan merupakan aturan yang mengikat masyarakat tetapi hanya mengikat bagi anggota kepolisian sedangkan yang dapat mengatur dan memidanakan masyarakat adalah UU yang berlaku yaitu: KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan UU lainnya. 

SE bukan ancaman bagi demokrasi yang sedang kita rintis sekarang ini tetapi SE ini membuat kita semua belajar menjadi dewasa dalam alam demokrasi yang sudah sangat kebablasan. Semoga kita semua dapat memahami subtansi dari SE ini yaitu upaya preventif (pencegahan) bukan upaya pemidanaan.

AST, Yogyakarta 2 november 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun