Indeks demokrasi dalam suatu negara setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek, di antaranya: (1) keberadaan sistem pemilihan umum yang bebas dan adil; (2) keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; (3) pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali; dan (4) keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya diri yang penuh.
Dari sudut pandang demokrasi dalam arti formal, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Dari segi materiil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersandingan dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum.
Oleh karena otonomi daerah bertalian dengan demokrasi, maka harus ada lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di daerah.
Jika ide demokrasi hanya dikonstruksikan harus diimbangi oleh sistem rule of law, sistem demokrasi yang dipraktikkan hanya akan bersifat prosedural dan formal.
Karena itu kita memerlukan sistem etika (rule of ethics) bersamaan dengan terus ditata dan ditegakkannya sistem hukum (rule of law) untuk memastikan bahwa sistem demokrasi yang kita bangun tidak hanya bersifat prosedural-formal, tetapi juga bersifat substansial. Untuk itu, perlu membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh the rule of law and the rule of ethics secara bersamaan.
Dalam demokrasi yang ideal, seharusnya rakyat memiliki peluang yang lebih besar untuk terlibat dalam proses politik.
Artinya sangat terbuka ruang partisipasi bagi seluruh masyarakat untuk ikut berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik mulai dari level regional hingga nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui sebuah sistem pemilihan umum.
Menurut Prof. Ni'matul Huda, indikator kualitas penyelenggaraan pemilu dapat diukur melalui:
(1) Kesiapan penyelenggara pemilu untuk bekerja profesional, mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas, (2) Rakyat dengan kesadaran penuh dapat merdeka dalam menyalurkan aspirasi pilihannya, aman, tertib, nyaman, dan tidak ada tekanan dari pihak mana pun, (3) Terselenggaranya pemilu yang baik dan bermartabat, sukses tanpa ekses, dan (4) Terpilihnya legislatif dan eksekutif yang sesuai dengan keinginan rakyat.
Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum merupakan satu pilar utama dari akumulasi kehendak rakyat. Tetapi hari ini pemilu, khususnya Pemilukada masih dianggap sebagai the problems of local democracy karena belum mampu menjadi solusi ideal bagi demokrasi lokal. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Pertama, menimbulkan fenomena hight cost democracy (demokrasi berbiaya tinggi).
Kedua, partai-partai politik yang menjadi aktor dalam Pemilukada lebih menonjolkan pragmatisme kepentingan dan belum memiliki preferensi politik yang jelas, sehingga partai politik tersandera oleh kepentingan pemilik modal dan bahkan partai hanya dijadikan kuda tunggangan oleh para kandidat.
Ketiga, KPUD sebagai penyelenggara Pemilukada memiliki banyak sekali keterbatasan. Keterbatasan ini berhubungan dengan tiga hal yang sangat esensial yaitu pemahaman terhadap regulasi, kelembagaan penyelenggara Pemilukada dan tata kelola Pemilukada.
Keempat, Bawaslu dapat berpotensi menjadi salah satu pilar yang ikut berkontribusi membuat Pemilukada menjadi tidak demokratis. Kasus kecurangan yang sering terjadi dalam Pemilukada tidak hanya menampar wajah demokrasi lokal, tetapi juga mempertanyakan eksistensi Bawaslu sebagai penjamin Pemilukada bergerak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Kelima, dalam konteks hari ini di mana pilkada dilaksanakan dalam kondisi pandemi COVID-19 tentunya sangat riskan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, khususnya bagi incumbent karena gelontoran dana bantuan sosial dan berbagai dana bantuan kesehatan (COVID-19) bertebaran di daerah.
Budaya politik Indonesia memang memiliki karakteristik tersendiri, di mana daerah-daerah dengan keragaman nilai-nilai budaya lokalnya juga senantiasa memberikan nuansa perpolitikan yang berbeda.
Namun jika kita perhatikan, hampir tak ada satu pun daerah yang terbebas dari warisan nilai-nilai feodalisme, praktik patrimonialisme, patronase dan ciri-ciri masyarakat komunal yang cenderung sangat permisif. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan dinasti politik, satu hal yang juga menjadi problem bagi demokrasi di negara kita.
Dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. Dinasti politik juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan agar tetap berada dalam lingkaran keluarga.
Dinasti politik cenderung memunculkan multiplikasi aktor (aktor-aktor yang muncul hanya di kalangan dinasti saja), bukan pluralisme aktor (aktor-aktor yang muncul cenderung variatif dari berbagai latar belakang).
Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan.
Tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di daerah tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selama ini terdapat kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon.
Secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah maupun pusat.
Sehingga dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik. Dalam konteks masyarakat sendiri juga muncul sinyalemen upaya menjaga status quo di daerahnya dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana.
Terlepas dari substansi demokrasi yang sulit diwujudkan karena adanya dinasti politik, idealnya dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, juga tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat.
Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan yang dibangun dengan dinasti politik juga tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak.
Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya.
Dinasti politik sejatinya bukan hanya menjadi kepentingan kolektif warga masyarakat di daerah, melainkan juga menjadi agenda bangsa dalam mendekonstruksi gejala-gejala kekuasaan yang hegemonis dan tiran dalam menguasai berbagai sumber daya lokal.
Dalam spektrum yang lebih luas, dinasti politik yang kolutif dan koruptif adalah masalah serius bagi keberlanjutan demokratisasi di Indonesia dan tidak kalah pentingnya juga menjadi masalah dalam distribusi keadilan pembangunan sosial ekonomi di daerah.
Permasalahan yang kompleks ini seharusnya dapat diatasi oleh instrumen hukum yang kemudian dianggap ampuh untuk menyelesaikannya. Salah satu instrumen tersebut adalah melalui penegakan hukum pemilu dengan desain kerangka hukum yang mengatur mekanisme penyelenggaraan dan penyelesaian yang efektif.
Untuk mengakomodasi hal tersebut, maka kerangka hukum yang ada mesti menjamin pemilih, kandidat, dan partai politik. Kaitannya dengan persoalan dinasti politik, Instrumen hukum tersebut terwujudkan dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-undang. Instrumen inilah yang mencoba membatasi maraknya dinasti politik khususnya dalam setiap kontestasi pilkada.
Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 mengatur ketentuan persyaratan warga negara indonesia yang dapat menjadi calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah di mana pada huruf r memberi penekanan bahwa calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, tidak boleh maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Namun sebelum regulasi ini diberlakukan, Ketentuan terkait pasal 7 huruf r yang diatur dalam UU No 1 tahun 2015 dan UU No 8 tahun 2015, diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi Oleh Adnan Purichta, S.H, yang bekerja sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019.
Pengajuan permohonan tersebut bertanggal pada 20 Februari 2015 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Februari 2015 berdasarkan akta Penerima Berkas Permohonan Nomor 67 / PAN MK/ 2015 dan terlah tercatat pada Buku reditrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33 / PUU- XIII/2015 pada tanggal 2 Maret 2015.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 33/ PUU -- XIII/ 2015 ada beberapa alasan pengujian pasal 7 huruf tersebut yang kesemuanya dapat disimpulkan bahwa bahwa adanya beberapa ketentuan yang berseberangan dengan Undang--Undang Dasar 1945, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU pemerintah daerah dan lain-lain.
Seperti pasal 18 ayat 4 UU 1945 yang menjelaskan di mana masyarakat diberi hak untuk ikut serta ambil bagian dalam proses politik, baik untuk dipilih maupum memilih secara sama, yang merupakan prinsip utama dari sebauah negara demokrasi tanpa adanya pembedaan berdasarkan suku, agama, asal usul, dan sebagainya.
Selain beberapa tidak sinkron dengan UUD 1945 dan UU HAM, alasan lain juga mengenai perlakukan yang sama di mata hukum. Jadi apabila pembatasan terkait untuk keluarga petahana maka dianggap melakukan dikriminasi terhadap seseorang di mata hukum. Sehinggadi putuskan penghapusan pasal 7 huruf r yang terdapat di UU No 8 tahun 2015 perubahan atas UUNo 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota.
Terkait dengan dinamika di atas, Masalah sebenarnya adalah bagaimana stakeholders terkait pilkada mampu mencegah kecenderungan maraknya dinasti politik yang dapat ikut memberantas KKN di daerah.
Untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh praktik suap, kolusi dan nepotisme (KKN) melalui dinasti politik tak cukup hanya mengandalkan UU Pilkada sebagai payung hukum, tapi lebih dari itu diperlukan penegakan hukum yang konkret yang mampu memberi penalti (seperti diskuslifikasi) bagi para pelanggarnya tanpa pandang bulu.
Karena itu, Bawaslu/Bawaslu daerah yang telah dikuatkan posisinya secara hukum, diharapkan bisa efektif dalam melakukan pengawasan dan menindak secara administratif para peserta yang melanggar. Solusi mujarab terhadap dinasti politik bisa dilakukan melalui reformasi parpol.
Partai politik harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi kader yang benar (merit system), transparan dan akuntabel. Dengan begitu tak ada orang yang mendadak jadi calon ketua partai atau kepala daerah. Dengan cara ini pula siapa pun boleh saja berpolitik termasuk anak ketua umum parpol, tapi mereka harus melewati proses penyaringan secara berjenjang seperti yang terjadi di birokrasi.
Selain itu, diperlukan dukungan dan dorongan civil society melalui pressure imperative-nya agar semua stakeholders terkait demokrasi, khususnya pemilu dan pilkada (parpol) menaati semua aturan main dan siap menerima hukuman kalau melanggar. Kampus mestinya menjadi garda terdepan pencerah bagi rakyat dan pendorong peningkatan kualitas moral demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H