Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengaruh Dinasti Politik terhadap Iklim Demokrasi Indonesia

5 September 2021   07:11 Diperbarui: 5 September 2021   07:15 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H. (Dosen Hukum dan Syariah IAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka)/dokpri

Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 mengatur ketentuan persyaratan warga negara indonesia yang dapat menjadi calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah di mana pada huruf r memberi penekanan bahwa calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah  tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. 

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, tidak boleh maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Namun sebelum regulasi ini diberlakukan, Ketentuan terkait pasal 7 huruf r yang diatur dalam UU No 1 tahun 2015 dan UU No 8 tahun 2015, diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi Oleh Adnan Purichta, S.H, yang bekerja sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019. 

Pengajuan permohonan tersebut bertanggal pada 20 Februari 2015 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Februari 2015 berdasarkan akta Penerima Berkas Permohonan Nomor 67 / PAN MK/ 2015 dan terlah tercatat pada Buku reditrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33 / PUU- XIII/2015 pada tanggal 2 Maret 2015. 

Berdasarkan Putusan MK Nomor 33/ PUU -- XIII/ 2015 ada beberapa alasan pengujian pasal 7 huruf tersebut yang kesemuanya dapat disimpulkan bahwa bahwa adanya beberapa ketentuan yang berseberangan dengan Undang--Undang Dasar 1945, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU pemerintah daerah dan lain-lain. 

Seperti pasal 18 ayat 4 UU 1945 yang menjelaskan di mana masyarakat diberi hak untuk ikut serta ambil bagian dalam proses politik, baik untuk dipilih maupum memilih secara sama, yang merupakan prinsip utama dari sebauah negara demokrasi tanpa adanya pembedaan berdasarkan suku, agama, asal usul, dan sebagainya.

Selain beberapa tidak sinkron dengan UUD 1945 dan UU HAM, alasan lain juga mengenai perlakukan yang sama di mata hukum. Jadi apabila pembatasan terkait untuk keluarga petahana maka dianggap melakukan dikriminasi terhadap seseorang di mata hukum. Sehinggadi putuskan penghapusan pasal 7 huruf r yang terdapat di UU No 8 tahun 2015 perubahan atas UUNo 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota.

Terkait dengan dinamika di atas, Masalah sebenarnya adalah bagaimana stakeholders terkait pilkada mampu mencegah kecenderungan maraknya dinasti politik yang dapat ikut memberantas KKN di daerah. 

Untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh praktik suap, kolusi dan nepotisme (KKN) melalui dinasti politik tak cukup hanya mengandalkan UU Pilkada sebagai payung hukum, tapi lebih dari itu diperlukan penegakan hukum yang konkret yang mampu memberi penalti (seperti diskuslifikasi) bagi para pelanggarnya tanpa pandang bulu. 

Karena itu, Bawaslu/Bawaslu daerah yang telah dikuatkan posisinya secara hukum, diharapkan bisa efektif dalam melakukan pengawasan dan menindak secara administratif para peserta yang melanggar. Solusi mujarab terhadap dinasti politik bisa dilakukan melalui reformasi parpol. 

Partai politik harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi kader yang benar (merit system), transparan dan akuntabel. Dengan begitu tak ada orang yang mendadak jadi calon ketua partai atau kepala daerah. Dengan cara ini pula siapa pun boleh saja berpolitik termasuk anak ketua umum parpol, tapi mereka harus melewati proses penyaringan secara berjenjang seperti yang terjadi di birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun