Mohon tunggu...
Ade Surya Prasetyo
Ade Surya Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Udayana

I am an Economics student with a passion for driving growth and innovation in the business sector. Known for my analytical mindset and interpersonal skills, I thrive in dynamic environments where I can collaborate with diverse teams to create impactful solutions. From my experience in financial management and business development, I’ve honed my abilities in strategic planning, stakeholder management, and effective communication. My hands-on involvement in smart city initiatives and market analysis has deepened my understanding of how innovative solutions can shape communities and drive meaningful change.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bagaimana Pemanasan Global Memicu Efek Domino di Berbagai Sektor

13 Januari 2025   09:58 Diperbarui: 13 Januari 2025   09:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polusi di salah satu daerah di India, dengan sampah yang mencemari aliran sungai (Sumber: Business Insider)

Pemanasan global merupakan isu lingkungan yang semakin mendesak dan memiliki dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oxide (N2O) di atmosfer. Kenaikan suhu rata-rata bumi yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial. Artikel ini akan membahas berbagai dampak pemanasan global terhadap sektor-sektor penting.

1. Kerugian pada Sektor Pertanian

Pertanian merupakan sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Pemanasan global mengakibatkan perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi bencana alam seperti banjir dan kekeringan, serta penurunan produktivitas tanah. Hal ini berdampak langsung pada hasil panen, yang pada akhirnya memengaruhi ketersediaan pangan dan harga komoditas pertanian. Misalnya, petani di daerah tropis menghadapi risiko gagal panen lebih tinggi akibat suhu ekstrem dan kekeringan yang berkepanjangan.

FAO memperkirakan penurunan produktivitas pertanian hingga 30% di beberapa wilayah tropis pada tahun 2050. Hal ini mengancam ketahanan pangan global, mengingat populasi dunia diproyeksikan mencapai 9.7 miliar pada tahun tersebut.

Polusi udara juga dapat merusak tanaman, tumbuhan, dan hutan. Misalnya, ketika tanaman menyerap ozon permukaan dalam jumlah besar, mereka mengalami penurunan fotosintesis, pertumbuhan yang lebih lambat, dan kepekaan yang lebih tinggi terhadap penyakit. Penelitian yang dipublikasikan Environmental Health Perspective mengungkapkan kandungan protein dalam beras, gandum, barley, dan kentang berpotensi menurun antara 6% hingga 14% jika ditanam dalam lingkungan dengan konsentrasi CO2 yang tinggi. Hal ini dapat meningkatkan risiko kekurangan protein bagi populasi dunia. Setidaknya ada 18 negara yang memiliki resiko besar kehilangan lebih dari 5 persen protein makanan mereka pada tahun 2050 jika kualitas udara terus menurun.

Selain itu, perubahan iklim meningkatkan ancaman kebakaran hutan, yang menimbulkan risiko besar bagi lahan pertanian. Perubahan suhu dan curah hujan juga sangat mungkin memperluas penyebaran serangga, gulma, dan penyakit. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan yang lebih besar akan pengendalian hama dan gulma. Suhu yang lebih hangat dan perubahan curah hujan dapat memengaruhi waktu tanaman berbunga dan kemunculan penyerbuk seperti lebah dan kupu-kupu. Jika terjadi ketidaksesuaian antara waktu berbunga dan penyerbuk, penyerbukan dapat menurun.

2. Kerusakan Infrastruktur akibat Bencana Alam

Peningkatan suhu global menyebabkan naiknya permukaan air laut dan meningkatnya frekuensi serta intensitas bencana alam seperti badai, banjir, dan gelombang panas. Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), tingkat kenaikan permukaan air laut global telah meningkat dari 1.4 mm per tahun antara tahun 1901-1990 menjadi 3.6 mm per tahun antara tahun 2006-2015. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2100, permukaan air laut bisa naik antara 0.3-2.5 meter, tergantung pada skenario emisi gas rumah kaca.

Dampak ini memicu kerusakan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Bank Dunia memperkirakan bahwa kebutuhan investasi infrastruktur yang tahan iklim di negara berkembang mencapai USD 90 triliun hingga tahun 2030. Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh perbaikan dan pemulihan pasca-bencana sangat besar, terutama di negara berkembang yang memiliki kapasitas keuangan terbatas. Sebagai contoh, Indonesia mengalami kerugian rata-rata USD 1.5 miliar per tahun akibat bencana alam terkait iklim.

Wilayah pesisir menghadapi ancaman signifikan, termasuk kehilangan lahan produktif akibat abrasi dan intrusi air laut. Di Asia Tenggara, diperkirakan 435 juta orang tinggal di wilayah pesisir yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Vietnam, misalnya, bisa kehilangan hingga 40% area Delta Mekong - lumbung pangan utama negara tersebut - akibat kenaikan permukaan air laut pada akhir abad ini. Selain itu, ancaman terhadap ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan terumbu karang semakin memperburuk dampak perubahan iklim, yang dapat mengurangi kemampuan alam untuk melindungi pesisir dan menyediakan sumber daya alam yang penting. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang lebih serius sangat dibutuhkan untuk melindungi wilayah pesisir dan memastikan ketahanan jangka panjang terhadap perubahan iklim.

3. Penurunan Produktivitas Tenaga Kerja

Gelombang panas yang berkepanjangan dan suhu tinggi dapat mengurangi produktivitas tenaga kerja, khususnya di sektor-sektor yang mengandalkan pekerjaan fisik. Menurut studi International Labour Organization (ILO), pada tahun 2030 diperkirakan akan terjadi kehilangan produktivitas setara dengan 80 juta pekerjaan penuh waktu akibat stres panas. Di Asia Tenggara, penurunan produktivitas akibat gelombang panas diproyeksikan mencapai 13-25% pada tahun 2050.

Sektor konstruksi mengalami dampak paling signifikan, dengan pengurangan jam kerja efektif hingga 40% selama periode suhu ekstrem. Di Indonesia, studi menunjukkan bahwa pekerja konstruksi kehilangan rata-rata 2-3 jam kerja produktif per hari saat suhu mencapai di atas 33C. Sektor manufaktur juga mengalami penurunan efisiensi produksi sebesar 3-7% untuk setiap kenaikan suhu 1C di atas ambang optimal.

Risiko kesehatan yang meningkat meliputi dehidrasi, heatstroke, dan penyakit terkait panas lainnya. Data WHO menunjukkan bahwa antara tahun 1998-2017, lebih dari 166.000 orang meninggal akibat gelombang panas secara global. Di Eropa, gelombang panas tahun 2003 menyebabkan lebih dari 70.000 kematian tambahan. Biaya medis terkait penanganan penyakit akibat panas diperkirakan mencapai USD 100 miliar per tahun secara global pada tahun 2030.

Dampak ekonomi jangka panjang terlihat dari meningkatnya beban sistem kesehatan. McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa pada tahun 2050, biaya tahunan untuk menangani dampak kesehatan terkait panas bisa mencapai USD 200-400 miliar di Asia Tenggara saja. Biaya ini mencakup perawatan langsung, kehilangan produktivitas, dan peningkatan premi asuransi kesehatan.

Sektor pertanian juga mengalami dampak ganda: penurunan produktivitas pekerja dan kerusakan tanaman akibat suhu ekstrem. FAO melaporkan bahwa kombinasi kedua faktor ini dapat mengurangi hasil panen hingga 25% di daerah tropis. Di India, kerugian ekonomi akibat gelombang panas di sektor pertanian diperkirakan mencapai USD 65 miliar pada tahun 2030.

4. Tekanan pada Sektor Keuangan

Kerugian ekonomi akibat pemanasan global telah memberikan tekanan besar pada sektor keuangan, terutama industri asuransi. Swiss Re Institute melaporkan bahwa kerugian akibat bencana alam yang diasuransikan mencapai USD 130 miliar pada tahun 2022, meningkat 140% dibandingkan rata-rata dekade sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 75% terkait dengan peristiwa cuaca ekstrem yang dipicu perubahan iklim.

Perusahaan asuransi menghadapi dilema dalam menetapkan premi. Data dari Munich Re menunjukkan bahwa premi asuransi properti di daerah rawan bencana telah meningkat 50-150% dalam lima tahun terakhir. Di beberapa wilayah pesisir AS, beberapa perusahaan asuransi bahkan telah berhenti menerbitkan polis baru karena tingginya risiko. California, misalnya, mengalami eksodus perusahaan asuransi besar seperti State Farm dan Allstate yang menghentikan polis baru akibat meningkatnya risiko kebakaran hutan.

Sektor perbankan juga menghadapi risiko signifikan. Moody's Analytics memperkirakan bahwa bank-bank global memiliki eksposur sebesar USD 22 triliun terhadap aset yang berisiko tinggi terkait perubahan iklim. Bank-bank di Asia Pasifik khususnya memiliki portofolio kredit senilai USD 7.1 triliun yang terekspos pada risiko fisik tinggi dari perubahan iklim.

Aliran investasi global mengalami pergeseran seiring meningkatnya kesadaran akan risiko iklim. McKinsey memproyeksikan bahwa hingga USD 3.5 triliun investasi tahunan diperlukan hingga 2050 untuk transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun, negara berkembang menghadapi kesulitan dalam menarik investasi ini. World Bank mencatat bahwa premi risiko untuk proyek infrastruktur di negara berkembang telah meningkat 20-40% akibat pertimbangan risiko iklim.

Pasar modal juga merespons dengan pengetatan persyaratan ESG (Environmental, Social, and Governance). Bloomberg melaporkan bahwa aset yang dikelola dengan pertimbangan ESG mencapai USD 40.5 triliun pada tahun 2022. Namun, hal ini juga menciptakan tantangan bagi emiten dari negara berkembang yang sering kali kesulitan memenuhi standar ESG yang ketat.

Stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan terancam oleh apa yang disebut Network for Greening the Financial System (NGFS) sebagai "risiko iklim sistemik". Dalam skenario terburuk, kerugian nilai aset global akibat risiko transisi dan fisik bisa mencapai USD 43 triliun pada tahun 2050.

5. Disrupsi pada Perdagangan Internasional

Pemanasan global mengancam infrastruktur pelabuhan secara signifikan. Menurut studi UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), sekitar 80% perdagangan global dalam volume dilakukan melalui transportasi laut, dan 60% dari total pelabuhan global berisiko mengalami dampak perubahan iklim. Diperkirakan kerusakan pada pelabuhan akibat kenaikan permukaan air laut bisa mencapai USD 111.6 miliar pada tahun 2050.

Di Asia, yang memiliki 9 dari 10 pelabuhan kontainer tersibuk di dunia, risiko gangguan rantai pasok sangat tinggi. Pelabuhan Shanghai, yang menangani lebih dari 47 juta TEU (Twenty-foot Equivalent Unit) per tahun, diproyeksikan akan menghadapi kerugian tahunan sebesar USD 12.3 miliar pada tahun 2050 akibat banjir dan badai yang meningkat intensitasnya.

Kenaikan harga komoditas global telah menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. World Food Programme melaporkan bahwa indeks harga pangan global meningkat 28% antara 2019-2021, sebagian dipicu oleh dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian. FAO memproyeksikan kenaikan harga pangan tambahan sebesar 20% pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan mitigasi yang signifikan.

Negara-negara importir pangan menghadapi tekanan berat. Mesir, importir gandum terbesar dunia, mengalami peningkatan belanja impor pangan sebesar 60% dalam lima tahun terakhir. Sementara itu, negara-negara Afrika Sub-Sahara membelanjakan rata-rata 30-35% cadangan devisa mereka untuk impor pangan.

Rantai pasok global mengalami gangguan serius. McKinsey memperkirakan bahwa gangguan rantai pasok terkait iklim dapat menyebabkan kerugian tahunan sebesar USD 300 miliar pada tahun 2030. Container xChange melaporkan bahwa waktu tunggu kontainer di pelabuhan meningkat 43% selama periode cuaca ekstrem.

Bank Dunia memperkirakan bahwa negara berkembang membutuhkan investasi infrastruktur perdagangan tahan iklim sebesar USD 1.5 triliun hingga tahun 2030. Namun, kesenjangan pembiayaan masih mencapai 60% dari kebutuhan tersebut.

World Trade Organization (WTO) memproyeksikan bahwa volume perdagangan global bisa berkurang hingga 18% pada tahun 2050 akibat dampak perubahan iklim jika tidak ada tindakan adaptasi yang memadai. Biaya tambahan untuk perdagangan internasional akibat adaptasi terhadap perubahan iklim diperkirakan mencapai 3-8% dari nilai perdagangan global.

6. Biaya Adaptasi dan Mitigasi

Pemerintah dan sektor swasta harus mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mengurangi dampak pemanasan global, seperti membangun infrastruktur yang tahan bencana, mengembangkan teknologi rendah karbon, dan mendukung transisi ke energi terbarukan. Biaya adaptasi dan mitigasi ini dapat membebani anggaran negara dan mengurangi investasi di sektor lain yang juga penting untuk pembangunan ekonomi. Namun, investasi ini sangat penting untuk mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar di masa depan.

Bank Dunia memperkirakan bahwa investasi dalam adaptasi terhadap gelombang panas di sektor industri akan membutuhkan dana sekitar USD 150 miliar hingga tahun 2030 di negara berkembang. Meskipun besar, biaya ini masih lebih rendah dibandingkan potensi kerugian ekonomi jika tidak dilakukan adaptasi, yang bisa mencapai USD 500 miliar per tahun pada tahun 2050.

Kesimpulan

Pemanasan global berdampak luas pada berbagai sektor, mulai dari lingkungan hingga ekonomi.. Secara keseluruhan, pemanasan Pemanasan global berdampak luas pada berbagai sektor, mulai dari lingkungan hingga ekonomi. Secara keseluruhan, pemanasan global mengancam keberlanjutan hidup manusia dan ekosistem, sehingga langkah mitigasi dan adaptasi sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ini. Pemanasan global merupakan tantangan besar yang memerlukan solusi lintas sektor dan lintas negara. Dengan upaya yang terkoordinasi, dampak negatif terhadap ekonomi dapat diminimalkan, sekaligus menciptakan peluang untuk transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan resilien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun