Pasar modal juga merespons dengan pengetatan persyaratan ESG (Environmental, Social, and Governance). Bloomberg melaporkan bahwa aset yang dikelola dengan pertimbangan ESG mencapai USD 40.5 triliun pada tahun 2022. Namun, hal ini juga menciptakan tantangan bagi emiten dari negara berkembang yang sering kali kesulitan memenuhi standar ESG yang ketat.
Stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan terancam oleh apa yang disebut Network for Greening the Financial System (NGFS) sebagai "risiko iklim sistemik". Dalam skenario terburuk, kerugian nilai aset global akibat risiko transisi dan fisik bisa mencapai USD 43 triliun pada tahun 2050.
5. Disrupsi pada Perdagangan Internasional
Pemanasan global mengancam infrastruktur pelabuhan secara signifikan. Menurut studi UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), sekitar 80% perdagangan global dalam volume dilakukan melalui transportasi laut, dan 60% dari total pelabuhan global berisiko mengalami dampak perubahan iklim. Diperkirakan kerusakan pada pelabuhan akibat kenaikan permukaan air laut bisa mencapai USD 111.6 miliar pada tahun 2050.
Di Asia, yang memiliki 9 dari 10 pelabuhan kontainer tersibuk di dunia, risiko gangguan rantai pasok sangat tinggi. Pelabuhan Shanghai, yang menangani lebih dari 47 juta TEU (Twenty-foot Equivalent Unit) per tahun, diproyeksikan akan menghadapi kerugian tahunan sebesar USD 12.3 miliar pada tahun 2050 akibat banjir dan badai yang meningkat intensitasnya.
Kenaikan harga komoditas global telah menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. World Food Programme melaporkan bahwa indeks harga pangan global meningkat 28% antara 2019-2021, sebagian dipicu oleh dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian. FAO memproyeksikan kenaikan harga pangan tambahan sebesar 20% pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan mitigasi yang signifikan.
Negara-negara importir pangan menghadapi tekanan berat. Mesir, importir gandum terbesar dunia, mengalami peningkatan belanja impor pangan sebesar 60% dalam lima tahun terakhir. Sementara itu, negara-negara Afrika Sub-Sahara membelanjakan rata-rata 30-35% cadangan devisa mereka untuk impor pangan.
Rantai pasok global mengalami gangguan serius. McKinsey memperkirakan bahwa gangguan rantai pasok terkait iklim dapat menyebabkan kerugian tahunan sebesar USD 300 miliar pada tahun 2030. Container xChange melaporkan bahwa waktu tunggu kontainer di pelabuhan meningkat 43% selama periode cuaca ekstrem.
Bank Dunia memperkirakan bahwa negara berkembang membutuhkan investasi infrastruktur perdagangan tahan iklim sebesar USD 1.5 triliun hingga tahun 2030. Namun, kesenjangan pembiayaan masih mencapai 60% dari kebutuhan tersebut.
World Trade Organization (WTO) memproyeksikan bahwa volume perdagangan global bisa berkurang hingga 18% pada tahun 2050 akibat dampak perubahan iklim jika tidak ada tindakan adaptasi yang memadai. Biaya tambahan untuk perdagangan internasional akibat adaptasi terhadap perubahan iklim diperkirakan mencapai 3-8% dari nilai perdagangan global.
6. Biaya Adaptasi dan Mitigasi