Komposisi keanggotaan di periode 1992 – 1997 berdasarkan hasil Pemilu 1992, 10 kursi berhasil diduduki perempuan dari 45 kursi yang dialokasikan. Artinya hanya 22 %, menurun dari periode sebelumnya. Kesepuluh perempuan parlemen tersebut adalah 1) Ny. H. Mieke Anas Bunggasi; 2) Dra. Hj. Nurhayati R.; 3) Ny. H. W. Rosminah Silondae; 4) Ny. Dra. Wa Ode Mustari Rauf; 5) Ny. Hj. R. St. Maryam A. Sugianto; 6) Ny. Theresia Sri Rahayu; 7) Ny. Hj. Putiri Tommy, BA; 8.) Ny. Supiah La Aowu; 9) Ny. Hj. Sigowa Arung Karim Aburaera, dan 10) Ny. Syamsiah B. Lawele.
Periode 1997 – 1999, dari 45 kursi yang tersedia, unsur perempuan memperoleh 15,6% (7 kursi) yang semuanya berasal dari Golongan Karya, yaitu 1) Ny. Hj. St. Maryam Arifin Sugianto; 2) Ny. Hj. Mieke Anas Bunggasi; 3) Hj. Wilhemina Rosmina Silondae; 4) Wa Ode Mufliha Maane Bolu; 5) Ny. Hj. Putiri Tommy, BA, 6) Hj. Sigowa Arung karim Aburaera; dan 7) Nanik Puji Rahayu.
Pasca orde baru seiring masuknya era reformasi muncul sejumlah partai politik. Pemilu pertama reformasi dengan sistem multi partai ini hanya menempatkan kurang dari 10% (4 kursi) dari 45 kursi yang ada. Periode 1999 – 2004 ini diisi oleh 1) Hj. Siti Haola Nurmala Mokodompit; 2) Ny. Hj. Wa ode Mufliha Maane Bolu; dan 3) Hj. Andi Besse Sao-Sao, SH, yang semuanya dari Partai Golkar.
Pemilu kali kedua di era reformasi (2004) juga tidak jauh berbeda, hanya menempatkan 4 perempuan di parlemen Sultra, yaitu 1) Hj. Mieke Anas Bunggasi (Golkar); 2) Ir. Hj. Masyhura (PAN); 3) Hj. Nuraeni Andry Djufri (PAN); dan 4) Yoni Yokoyama Sinapoy, SH. (Golkar).
Kehadiran sejarah kiranya menjadi refleksi evaluatif dimasa-masa selanjutnya. Berapapun kuantitas (kuota) yang terakomodir, kualitas pada akhirnya yang diharapkan.
Kuota, Kebijakan Afirmatif dan Capaian
Tidak diperoleh informasi secara pasti, di awal-awal kemerdekaan ataupun sejak terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara alasan mengapa kuota itu dipandang perlu. 20 Tahun terakhir, muncul gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif sebagai refleksi pengalaman sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik.
Untuk itulah dipandang perlu keterwakilan agar isu tentang perempuan dapat menjadi diskusi bersama (laki-laki dan perempuan) karena Indonesia juga dihadiri oleh para perempuan dan kelompok minoritas.
Kuota sebenarnya bukan menjadi tujuan. Tetapi bagaimana menggunakan kuota dan afirmatif sebagai instrumen mencapai tujuan dan merespon persoalan masyarakat.
Ditingkat nasional, capaian kinerja perempuan parlemen dalam lingkup makro dan mikro yang bisa dijadikan aset bagi basis dukungan publik untuk gerakan afirmatif patut kiranya diapresiasi. Lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah contoh terobosan positif dari peran yang telah dimainkan perempuan parlemen pusat.
Saat ini sudah teragendakan di badan legislasi revisi UU Kesehatan dan UU Kependudukan dengan rumusan lebih progresif serta agenda untuk revisi UU Perkawinan dan revisi KUHP.
Ditingkat lokal di Sulawesi Tenggara, catatan saya belum banyak produk dewan lebih sensitif gender selain dibentuknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yang baru setahun usianya.
Tentu harapan-harapan itu akan terus ada. Beberapa daerah telah melahirkan Perda PKDRT, Perda Pengarusutamaan Gender dll.